14 November 2016

JANGAN MENGAMBIL ILMU AGAMA DARI AHLI BID’AH



JANGAN MENGAMBIL ILMU AGAMA DARI AHLI BID’AH
Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Sabtu, 19 Desember 2009 15:28:04 WIB

Orang yang berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan mengantarkannya kepada jurang kehancuran.

Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada dua jalan.

Pertama : Ilmu diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.

Kedua : Ilmu diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]

Akan tetapi pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat ditentang oleh para ulama Salaf. Maka benarlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang telah memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara tanda-tanda dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

 إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ

"Sesungguhnya di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)" [2].

Imam Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”

Beliau menjawab : “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan shaghir (ahli bid’ah).[3]

Di dalam riwayat lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).

Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil).[4]

Dan tanda hari Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah terbukti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Bahkan sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam dari orang-orang kafir, yakni para dosen yang mengajarkan pengetahuan tentang Islam di berbagai perguruan tinggi di negara Barat.

Maka apakah kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman kita ini? Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam memberikan nasihat, dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?

Marilah kita renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada zaman beliau.

Beliau mengatakan: “Jika engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya muslim tetapi menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah, berkata,’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan datangkanlah akal,’ maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal. Dan jika engkau melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen) berkata,’Tinggalkan kami dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah perasaan dan rasa,’ maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah muncul dengan bentuk manusia, atau iblis telah merasuk padanya. Jika kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika tidak takut, maka bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]

PERINGATAN PARA ULAMA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan selalu ada sepanjang zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah, yaitu di dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

 يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ

"Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan" [6]

Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu. Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut.

1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata :

 اُنْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ

"Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama" [7]

Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).

2). Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata :

 لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا

"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa" [8].

Dalam riwayat lain disebutkan :

 لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا

"Manusia selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahli bid’ah) dan orang-orang buruk (orang fasik) di antara mereka, maka mereka pasti binasa" [9]

3). Imam Malik rahimahullah berkata :

 لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ

"Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan.[10]

4). Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :
“Di antaranya, jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan membahayakan pencari ilmu tersebut, maka dia wajib menasihatinya, dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].

5). Disebutkan di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan Mahmud Muhammad Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian ulama Mesir, Syam dan Maghrib mutaqaddimin : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.

TUJUAN PERINGATAN ULAMA
Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,”Sesungguhnya para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka telah memberikan bimbingan untuk mengambil ilmu dari orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka telah melarang mengambil ilmu dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di antara orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu, maka tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan agama, dipelajari untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli bid’ah, sedangkan ahli bid’ah tidak mendasarkan dan menetapkan masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah yang dia jadikan agama, sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi murid-muridnya secara ilmu dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di atas bid’ah dan susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar dari ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak akan hilang selama hidupnya.”[11]

Syaikh juga menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua. Pertama. Menjaga orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh perkataan dan perbuatan ahli bid’ah. Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari bid’ah.[12]

Larangan ini berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar kepada ahli bid’ah, dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]

Syaikh Bakar Abu Zaid berkata,”Wahai, penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan memiliki pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) : seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari (orang yang mengingkari takdir), seorang quburi (orang yang berlebihan mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena engkau tidak akan mencapai derajat orang yang benar aqidah agamanya, kokoh hubungannya dengan Allah, benar pandangannya, mengikuti atsar (jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]

PERINGATAN BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!
Setelah kita mengetahui keterangan di atas, maka selayaknya umat Islam agar senantiasa jeli dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas untuk diperingatkan, yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan sebelumnya, berupa pengambilan ilmu dari orang-orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari orang-orang kafir! Tidakkah orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang kafir itu pernah membaca atau mendengar firman Allah k tentang usaha orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla berfirman :

 وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}

"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [al Baqarah : 217].

Tidakkah mereka juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang keinginan orang-orang Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan umat Islam?

 وَدَّكَثِيرُُ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}

"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran" [al Baqarah : 109]

Apakah mereka mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk memurtadkan umat Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al Qur`an itu?

Anggapan seperti itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya adalah haq, baik saat turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah mereka memperhatikan sejarah umat Islam, memperhatikan kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang. Dengan demikian, mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.

Inilah sedikit keterangan seputar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu membimbing kita kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

 [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1].     Diringkas dari Kitabul Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.
[2].     Riwayat Ibnul Mubarak, al Lalikai, dan al Khaththib al Baghdadi. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 2203, dan Syaikh Salim al Hilali dalam kitab Hilyatul ‘Alim, hlm. 81.
[3].     Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi, hlm. 246.
[4].     Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39, karya Syaikh Bakar Abu Zaid.
[5].     Siyar A’lamin Nubala, 4/472, dinukil dari Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39.
[6].     HR Ibnu ‘Adi di dalam al Kamil, al Baihaqi di dalam Sunan Kubra, Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimsyaq, Ibnu Hibban di dalam ats Tsiqat, Abu Nu’aim di dalam Ma’rifatush Shahabat, Ibnu Abdil Barr di dalam at Tamhid, al Khath-thib di dalam Syaraf Ash-habul Hadits, dan lain-lain. Hadits ini diriwayatkan lebih dari 10 sanad, sehingga saling menguatkan. Dishahihkan oleh Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Hilyatul ‘Alim al Mu’allim, hlm. 77, juga oleh Syaikh Ali bin Hasan di dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah.
[7].     Riwayat al Khaththib al Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm. 121. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Dr. Ibrahim bin Amir Ruhaili.
[8].     Riwayat Imam Ibnul Mubarak di dalam az Zuhud, hlm. 281, hadits 815. Dinukil dari kitab Asy-rathus Sa’ah, hlm. 184, karya Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al Wabil.
[9].     Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 248. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 687.
[10].  Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 348. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 688.
[11].  Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Syaikh Ibrahim ar Ruhaili.
[12].  Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 693.
[13].  Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 685-695.
[14].  Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 40.

28 September 2014

Puasa Arafah Ikut Wukuf di Arafah atau Ikut Pemerintah?



Date: 25 September 2014, 12:02



Puasa Arafah yang dilakukan tahun ini apakah ikut wukuf di Arafah ataukah ikut ketetapan pemerintah? Karena kalau ikut ketetapan pemerintah, maka puasa Arafah akan berbeda dengan waktu Jamaah haji wukuf di Arafah. Waktu wukuf di Arafah pada hari Jumat, 3 Oktober 2014. Sedangkan untuk 9 Dzulhijjah di Indonesia jatuh pada 4 Oktober 2014.

Kalau Begitu Puasa Arafah Ikut Siapa?

Yang jelas kasus semacam ini sudah ada sejak masa silam. Kita semestinya bersikap legowo dan lapang dada, menghargai perbedaan yang terjadi.
Namun mengedepankan persatuan dalam masalah ini, itu lebih baik. Landasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, hari raya Idul Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR. Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani).
Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini berkata,

وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ

“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah (ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan tertentu.
Hadits di atas menunjukkan bahwa berpuasalah dan berhari rayalah bersama pemerintah. Kalau ketetapan pemerintah berbeda dengan wukuf di Arafah, tetap ketetapan pemerintah yang diikuti.

Ikuti Hilal di Negeri Masing-Masing, Bukan Ikut Wukuf di Arafah

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).

Hilal di negeri masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah hadits. Yang menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan,

لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ

“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”
Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,

لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim no. 1087).

Ini jadi dalil bahwa hilal di negeri kita tidak mesti sama dengan hilal Kerajaan Saudi Arabia, hilal lokal itulah yang berlaku. Kalau hilal negara lain terlalu dipaksakan berlaku di negeri ini, coba bayangkan bagaimana hal ini diterapkan di masa silam yang komunikasinya belum maju seperti saat ini.

Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib, “Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.”

Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Hadits Kuraib dari Ibnu ‘Abbas jadi dalil untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi’iyah, penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal internasionallah yang berlaku. Maksudnya, penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya. (Lihat Idem)

Tidak Masalah Jika Puasa Arafah Beda dengan Hari Wukuf di Arafah

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Idul Adha di negara mereka.

Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H)

Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak mesti mengikuti wukuf di Arafah. 
Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiq.
Selesai disusun di Pesantren Darush Sholihin, 30 Dzulqo’dah 1435 H
Artikel Muslim.Or.Id

21 Oktober 2012

AMALAN-AMALAN DI BULAN DZULHIJAH


AMALAN-AMALAN DI BULAN DZULHIJJAH

                Berikut ini adalah panduan ringkas dan sebagian dalam bentuk tanya jawab tentang amalan di bulan Dzulhijjah untuk kaum muslimin yang tidak berhaji. Penjelasan adalah seputar amalan di 10 hari awal bulan Dzulhijjah secara umum, shaum (puasa) Arafah, ibadah qurban, dan sholat Iedul Adha.

Keutamaan Amalan di 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

          Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah saat-saat terbaik untuk beramal sholeh. Sebagian Ulama menjelaskan bahwa amalan terbaik yang dilakukan di waktu malam (dari terbenam matahari hingga terbit fajar) adalah pada saat 10 hari terakhir bulan Ramadhan dalam upaya mendapat Lailatul Qodar. Sedangkan untuk siang hari (dari terbit Fajar sampai terbenam matahari), amal sholeh yang terbaik adalah yang dilakukan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah (Tafsir Ibnu Katsir).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ

Dari Ibnu Abbas dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: “Tidaklah ada suatu amalan yang lebih utama dikerjakan pada hari-hari ini (10 hari pertama Dzulhijjah). Para Sahabat bertanya: Apakah juga tidak bisa dikalahkan oleh Jihad fii Sabiilillah? Nabi bersabda: Tidak juga jihad fii sabiilillah , kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad) dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak kembali sedikitpun (H.R alBukhari)
         
Segala macam bentuk ibadah bisa diperbanyak sesuai dengan tuntunan Nabi. Bisa dalam bentuk sholat Sunnah, dzikir, shodaqoh, puasa Sunnah (selain di tanggal 10 Dzulhijjah), ataupun amal sholeh yang lain.  

Bagi seseorang kepala keluarga yang akan berkurban, pada awal masuk bulan Dzulhijjah, hendaknya ia tidak memotong kuku dan rambut yang ada pada tubuhnya, sesuai dengan hadits:
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

“Jika masuk 10 awal Dzulhijjah, dan seseorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah mengambil rambut dan kulitnya sedikitpun” (H.R Muslim)

KEUTAMAAN SHOUM ARAFAH

 وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

 “dan (Nabi) ditanya tentang puasa hari Arafah maka beliau bersabda: Menghapus dosa tahun yang lalu dan yang akan datang” (H.R Muslim).
Disunnahkan untuk shoum pada hari Arafah  (9 Dzulhijjah), dan diharamkan puasa pada 10,11,12, dan 13 Dzulhijjah.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ

 Dari Abu Said al-Khudry –radliyallahu ‘anhu-beliau berkata: Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang puasa pada Iedul Fitri dan Iedul Adha “(H.R al-Bukhari).
 عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

 Dari Nubaisyah al-Hudzaliy beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum (H.R Muslim)

QURBAN:

 1.      Apakah hukum melakukan qurban bagi yang mampu?
Jawab: Hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (ditekankan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam setiap tahun selalu berkurban. Namun, tidak sampai taraf wajib, karena Nabi menyatakan:
 إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

 “Jika masuk 10 awal Dzulhijjah, dan seseorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah mengambil rambut dan kulitnya sedikitpun” (H.R Muslim)
 Dalam hadits tersebut Nabi menyatakan : “ dan seseorang dari kalian ‘ingin’ berkurban”, jika merupakan kewajiban, Nabi tidak mengkaitkannya dengan ‘keinginan’.
Sedangkan hadits yang menyatakan:
 مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

 “Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat musholla kami” (H.R Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim).
 Hadits tersebut (selain juga mauquf, sebagai ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi) tidak secara tegas menunjukkan keharaman bagi yang meninggalkannya, karena sama dengan hadits:
 مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا

“Barangsiapa yang makan bawang hendaknya menjauh dari masjid kami” (muttafaqun ‘alaih).
 Tidak ada seorang Ulama’ pun yang mengharamkan makan bawang berdasarkan hadits tersebut (Faidah ini diambil dari Fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullah).
Selain itu, Abu Bakar dan Umar pernah tidak berukurban sebagai contoh agar orang tidak menganggapnya sebagai kewajiban (Tafsir al-Qurthuby 15/108)/.
Berkurban menjadi wajib jika seseorang telah bernadzar sebelumnya.

2.      Apakah keutamaan berkurban?
Jawab: Berkurban keutamaannya sangat besar. Bahkan, Imam Ahmad berpendapat sejumlah uang yang dikeluarkan untuk penyembelihan kurban lebih utama dibandingkan nominal yang sama yang dikeluarkan untuk shodaqoh yang lain (Tafsir al-Qurthuby 15/108).
Ibnul Aroby menyatakan bahwa tidak ada satu haditspun yang shahih yang terkait dengan keutamaan berkurban (Tuhfatul Ahwadzi juz 5 halaman 63).
Kalaulah tidak ada keutamaan lain selain karena Nabi mencontohkannya dan senantiasa melakukannya, maka cukuplah itu sebagai keutamaan. Karena menjalankan Sunnah Nabi menjadi sebab datangnya kecintaan dan ampunan Allah:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Nabi Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Ali Imran: 31).

3.      Jika seseorang mampu, apakah yang disunnahkan dia berkurban untuk setiap anggota keluarganya satu binatang kurban, atau mencukupkan satu untuk seluruh keluarganya?
Jawab: Yang disunnahkan adalah seseorang berkuban satu untuk seluruh anggota keluarganya yang berada dalam 1 rumah. Hal ini berdasarkan hadits:
 عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا فِيكُمْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَ كَمَا تَرَى

 Dari Atho’ bin Yasar beliau berkata: Aku bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshori tentang bagaimana penyembelihan (kurban) yang kalian lakukan di masa Nabi shollallaahu alaihi wasallam? Beliau berkata: seseorang laki-laki di masa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkurban satu domba untuk dirinya dan untuk keluarganya (ahlul bait). Mereka makan dan memberi makan (darinya), kemudian manusia bermegah-megah seperti yang kamu lihat (H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan Malik)
 Jika seorang anak yang telah berkeluarga tinggal satu rumah bersama kedua orang tuanya, maka cukup berkurban 1 binatang kurban untuk seluruh penghuni rumah, sebagaimana difatwakan oleh Fatwa alLajnah adDaimah (11/404).
Jika seseorang memiliki anggota keluarga yang sangat banyak, satu binatang kurban sudah mencukupi, namun jika menyembelih lebih dari satu, maka itu lebih utama (Fatwa alLajnah adDaimah (11/408)).

4.      Bolehkah beberapa kepala keluarga patungan untuk membeli binatang kurban bersama?
 Jawab: Kalau patungannya untuk membeli kambing, maka tidak boleh. Namun jika untuk membeli sapi, maka tidak mengapa selama jumlah kepala keluarga yang menyerahkan iuran tidak lebih dari 7. 
 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

 Dari Jabir bin Abdillah –radliyallaahu ‘anhumaa- beliau berkata: Kami menyembelih (alhadyu/kurban) bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyyah untuk untuk 7 dan sapi untuk 7 (kepala keluarga)(H.R Muslim).

5.      Kapankah waktu penyembelihan kurban? Bolehkah dilakukan di waktu malam?
 Jawab: Penyembelihan kurban bisa dimulai setelah sholat Iedul Adha, jika dilakukan sebelumnya maka tidak terhitung sebagai ibadah kurban.
 مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى

Barangsiapa yang menyembelih (kurban) sebelum sholat (Ied) maka hendaknya mengganti dengan sesembelihan lain (setelah sholat) (H.R alBukhari dari Sahabat Jundab bin Sufyan alBajaly)
Berakhirnya masa penyembelihan adalah dengan berakhirnya waktu Ashar tanggal 13 Dzulhijjah.
وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

 “Semua hari tasyriq adalah hari penyembelihan” (H.R Ahmad. Ibnu Hajar menyatakan bahwa di dalam sanadnya terputus, namun tersambung dalam riwayat adDaruquthny, sedangkan seluruh perawinya terpercaya. Syaikh alAlbany menghasankannya).
Sehingga, masa penyembelihan kurban adalah 4 hari, yaitu:  tanggal 10 Dzulhijjah setelah sholat Ied, tanggal 11, tanggal 12, dan tanggal 13 Dzulhijjah. Perlu diingat bahwa berakhirnya hari pada penanggalan hijriah adalah dengan berakhirnya waktu Ashar.
Penyembelihan boleh dilakukan di waktu malam, karena tidak ada larangan dalam masalah ini, namun yang lebih utama di siang hari.
Jika penyembelihan terpaksa dilakukan setelah lewat dari tanggal 13 Dzulhijjah karena udzur, seperti binatangnya hilang kemudian baru ditemukan, atau orang yang dipercaya menanganinya terlupa, maka InsyaAllah tetap terhitung sebagai amalan kurban, diqiyaskan dengan seseorang yang terlewatkan melakukan sholat karena terlupa atau ketiduran (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Ahkaamul Udlhiyah). 

6.      Apa saja syarat-syarat Binatang Qurban?
Jawab : Syarat-syarat binatang qurban ada 5:
1.      Berupa hewan ternak unta, sapi, dan kambing (kambing kacang atau domba).
Itulah yang disebut bahiimatul an’aam dalam Quran surat al-Hajj ayat 34.
2.      Cukup usia
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ

Dari Jabir beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, kecuali jika sulit bagi kalian maka sembelihlah jadza’ah dari domba”(H.R Muslim).
Yang dimaksud dengan musinnah adalah: untuk unta 5 tahun, sapi 2 tahun, kambing 1 tahun. Jadza’ah adalah usia 6 bulan, hanya diperbolehkan bagi domba, jika kesulitan menemukan usia minimal 1 tahun. Untuk kambing kacang tidak boleh usia di bawah 1 tahun.
3.      Tidak ada cacat: penglihatan/mata, pincang, sakit, dan sangat kurus karena terlalu tua.
 أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لَا تُنْقِي

 Empat hal yang tidak memadai (untuk kurban) : buta jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya, dan yang sangat kurus dan tidak bersumsum (H.R Ahmad)
4.      Milik dari orang yang berkurban.
5.      Tidak terkait dengan hak orang lain, misal: hewan yang digadaikan.
(Disarikan dari Ahkaamul Udlhiyyah karya Syaikh alUtsaimin).

7.      Apa saja syarat Penyembelihan kurban?
Jawab: Syarat-syarat dalam penyembelihan kurban ada 5:
a.      Penyembelihnya muslim atau ahlul kitab yang mumayyiz dan berakal sehat.
b.      Alat yang digunakan untuk menyembelih tidak boleh menggunakan tulang atau kuku.
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا

“apa yang mengalirkan darah dan disebut Nama Allah, maka makanlah, selama tidak menggunakan tulang atau kuku” (H.R Abu Dawud)
c.       Disebut nama Allah ketika penyembelihan. (Bismillah, Allahu Akbar)
d.     Penyembelihan pada bagian syar’i di leher yang memotong urat yang mengalirkan darah.
Di leher terdapat 3 macam saluran/ urat di leher : al-mari’ (saluran makan dan minum), al-hulquum (saluran pernapasan), dan al-wadjaan(urat yang mengalirkan darah, berjumlah 2). Yang wajib terpotong adalah semua alwadjan tersebut.
e.      Penyembelihan dilakukan di waktu-waktu kurban (dari selepas sholat Iedul Adha sampai berakhirnya Ashar 13 Dzulhijjah).
(Disarikan dari Fatwa Syaikh Sholeh al-Fauzan dan Ahkaamul Udlhiyah Syaikh al-Utsaimin).  

8.      Bagaimana jika Penyembelihnya Lupa Membaca Nama Allah saat Menyembelih?
Jawab: Jika penyembelihnya lupa membaca Nama Allah, maka yang demikian tidak mengapa. Sesembelihan tetap sah. Sebagaimana pendapat dari Sahabat Ibnu Abbas, dinukil oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya.

9.      Bolehkah Memberi Upah Kulit kepada Petugas Penyembelih?
Jawab: Tidak boleh memberi upah dari bagian hewan yang dikurbankan, baik berupa daging, kulit, dan lainnya. Hal ini sebagaimana hadits:
 أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا

(Dari Ali bin Abi Tholib) bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan beliau untuk mengurusi binatang kurban beliau dan membagikan seluruhnya daging, kulit, dan lapisan di punggung hewan tersebut kepada orang-orang miskin dan tidak memberi upah pada penyembelihan itu darinya sedikitpun” (Muttafaqun ‘alaih).
Upah boleh diberikan dalam bentuk lain, seperti uang.
Jika petugas penyembelih diberi bagian dari daging atau kulitnya sebagai bentuk hadiah, maka yang demikian tidak mengapa (sebagaimana difatwakan Syaikh alUtsaimin).
Upah adalah imbal jasa karena perbuatan sesuatu, sedangkan hadiah adalah pemberian untuk saling menumbuhkan perasaan cinta dan mempererat persaudaraan sesama muslim. Niat menjadi pembeda antara satu hal dengan hal yang lain.

10.  Bolehkah menjual kulit binatang yang dikurbankan?
Jawab: Tidak boleh bagi seseorang yang berkurban menjual kulit binatang kurbannya. Hal ini sesuai dengan hadits:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya (H.R alBaihaqy, dihasankan oleh Syaikh alAlbaany).
Sebaiknya kulit kurban itu diserahkan saja kepada pihak yang berhak menerima, misalkan fakir miskin, kemudian setelah diserahterimakan, maka kulit kurban itu adalah hak milik mereka yang bebas mau dijual lagi atau dipakai untuk keperluan lain.

11.  Bagaimana Alokasi Pembagian Daging Kurban?
Jawab:
Alokasi yang paling utama adalah untuk fakir miskin. Disunnahkan juga untuk memakan sebagian dari kurban tersebut.
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

…maka makanlah darinya, dan beri makan orang-orang yang sangat fakir (Q.S al-Hajj:28).
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

...maka makanlah darinya, dan beri makan orang yang berkecukupan dan orang yang meminta” (Q.S al-Hajj:36).
Sebagian daging tersebut juga bisa diberikan sebagai bentuk hadiah kepada tetangga, kaum kerabat, dan semisalnya.

SHOLAT IEDUL ADHA:

Disunnahkan tidak makan sebelum sholat Iedul Adha
 عن بُرَيْدَةَ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ  رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ ، وَلا يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ ، فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

Dari Buraidah radliyallaahu ‘anhu beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berangkat menuju sholat Iedul Fitri sampai beliau makan (terlebih dahulu) dan beliau tidak makan pada hari Iedul Adha sampai kembali dan makan dari kurbannya (H.R Ahmad)

Menempuh jalan yang berbeda
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ . رواه البخاري

Dari Jabir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Ied menempuh jalan yang berbeda (berangkat dan pulang dari tanah lapang sholat Ied)(H.R alBukhari).

Memperbanyak bacaan takbir
وروى الدارقطني وغيره أن ابن عمر كان إذا غدا يوم الفطر ويوم الأضحى يجتهد بالتكبير حتى يأتي المصلى ، ثم يكبر حتى يخرج الإمام

adDaruquthny dan selainnya meriwayatkan bahwa Ibnu Umar jika berangkat pagi hari melakukan sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha bersungguh-sungguh dalam bertakbir sampah tiba di tempat sholat, kemudian terus bertakbir sampai keluarnya Imam
Memperbanyak Takbir disunnahkan sejak selepas Fajar 9 Dzulhijjah sampai berakhirnya Ashar 13 Dzulhijjah. Juga disunnahkan takbir selepas sholat fardlu dalam rentang waktu tersebut.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ حِينَ يُسَلِّمُ مِنْ الْمَكْتُوبَاتِ

“Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bertakbir pada sholat Subuh hari Arafah sampai sholat Ashar pada akhir hari tasyriq setelah salam dari sholat wajib (H.R ad-Daruquthny dari Jabir).

Takbir dan Bacaan di antara Takbir 
عن عائشة رضي الله عنها : " التكبير في الفطر والأضحى الأولى سبع تكبيرات وفي الثانية خمس تكبيرات سوى تكبيرتي الركوع " رواه أبو داود وصححه الألباني في إراواء الغليل

Dari ‘Aisyah –semoga Allah meridlainya- : “Takbir pada sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha pada rokaat pertama 7 takbir dan pada rokaat kedua 5 takbir selain takbir ruku’ “(riwayat Abu Dawud dishahihkan oleh Syaikh alAlbany dalam Irwaul Ghalil)
Disunnahkan untuk memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi pada saat diam di antara takbir-takbir tersebut:
Ibnu Mas’ud berkata:
يحمد الله بين التكبيرتين ويصلي على النبي صلى الله عليه وسلم

Memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi di antara takbir (Ma’rifatus Sunan wal Atsar lil Baihaqy (5/327).

Bagaimana jika terlambat/ketinggalan sholat Ied
 Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa seorang yang terlambat sholat Ied hendaknya melakukan sholat Ied sebagaimana kaifiyat sholat Ied biasanya: 2 rokaat, 7 takbir di rokaat pertama dan 5 takbir di rokaat kedua. Dalilnya:
 إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا

 “Jika engkau mendatangi sholat, janganlah mendatanginya dalam keadaan tergesa-gesa. Datangilah dalam keadaan tenang. Apa yang kamu dapatkan, maka sholatlah, apa yang terluputkan maka gantilah” (H.R Ahmad, semakna dengan hadits Muttafaqun ‘alaih).
Jika seorang mendatangi sholat Ied khotib sedang berkhutbah, sebaiknya ia dengarkan khutbah terlebih dahulu, kemudian mengganti sholat Ied yang terluputkan agar mendapatkan 2 keutamaan sekaligus (mendengarkan khutbah dan sholat Ied) (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)

Hukum Mendengarkan Khutbah Ied
 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ  شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

 Dari Abdullah bin as-Saib beliau berkata: Aku mengikuti sholat Ied bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Ketika selesai sholat beliau bersabda: Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang mau duduk mendengarkan khutbah silakan duduk, barangsiapa yang ingin untuk pergi silakan pergi (H.R Abu Dawud, anNasaai, dan Ibnu Majah)

Bagaimana jika Iedul Adha/ Iedul Fitri bertepatan dengan hari Jumat
 قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

“Telah tergabung dalam hari kalian ini 2 Ied, barangsiapa yang mau, (sholat Ied) telah mencukupinya (tidak wajib lagi) dari sholat Jumat, dan kami akan melaksanakan sholat Jumat”

 (Abu Utsman Kharisman)