28 Februari 2011

BEBERAPA KESALAHAN SAAT MELAKSANAKAN IBADAH HAJI

BEBERAPA KESALAHAN SAAT MELAKSANAKAN IBADAH HAJI
http://www.almanhaj.or.id/content/2869/slash/0
Oleh: Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro

Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji wada':

خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini". [HR Ahmad].

Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah".

Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan.

Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.

1. KESALAHAN KETIKA IHRAM.
a. Sebagian jama'ah haji, ketika melewati miqat atau sejajar dengannya di atas pesawat, mereka menunda ihram sehingga turun di bandara Jeddah.
Dalam Al Bukhari dan Muslim, dan selainnya dari Ibnu Abbas, dia berkata:

وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ هُنَّ لَهُنَّ وَلِكُلِّ آتٍ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِمْ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ

"Nabi telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, dan untuk penduduk Syam di Al Juhfah, dan untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tempat-tempat itu untuk mereka dan untuk orang yang melewatinya, meskipun bukan dari mereka (penduduk-penduduk kota yang telah disebutkan), bagi orang yang ingin menunaikan haji dan umrah".

Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ

"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan miqat untuk penduduk Irak di Dzatu 'Irq". [HR Abu Dawud dan An Nasa-i].

Tempat-tempat tersebut adalah miqat-miqat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai batasan syar'i. Maka tidaklah halal bagi seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji dan umrah untuk merubahnya atau untuk melewatinya tanpa ihram.

Dalam Shahih Al Bukhari, dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Ketika dibuka dua kota ini, yakni Bashrah dan Kufah, mereka datang kepada Umar, lalu berkata: “Wahai, Amirul Mukminin. Sesungguhnya Nabi telah menetapkan miqat untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan tempat itu menyimpang dari kita. Apabila kita hendak pergi ke Qarnul Manazil, maka akan memberatkan kita”. Umar berkata,”Lihatlah kepada tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Manazil, Pen) dari jalan kalian.”

Dalam atsar ini Umar bin Khaththab telah menentukan miqat bagi orang yang tidak lewat di tempat tersebut, namun mereka sejajar dengannya. Tidak ada bedanya orang yang melewati miqat lewat udara ataupun lewat darat.

b. Keyakinan sebagian jama'ah haji atau umrah, bahwa yang dimaksud ihram adalah sekedar mengenakan pakaian ihramnya setelah mengganti dari pakaian biasa; padahal, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam ibadah umrah atau haji.

Yang benar, bahwa seseorang ketika mengenakan pakaian ihram, hal ini adalah persiapan untuk ihram. Karena ihram yang sebenarnya adalah niat untuk masuk ke dalam manasik. Hal inilah yang belum diketahui oleh kebanyakan orang, mereka mengira, hanya dengan mengenakan pakaian ihram, telah mulai menjauhi larangan ihram, padahal larangan-larangan ihram dijauhi ketika seseorang mulai niat masuk ke dalam manasik.

c. Ketika seorang wanita dalam keadaan haidh, dia tidak melakukan ihram karena adanya keyakinan bahwa ihram harus dalam keadaan suci, kemudian dia melewati miqat tersebut tanpa ihram.

Hal ini merupakan kesalahan yang nyata, karena haidh tidak menghalanginya untuk ihram. Seorang wanita yang haidh, ia tetap melakukan ihram dan mengerjakan semua yang harus dikerjakan oleh jama'ah haji, kecuali thawaf. Dia menunda thawaf sehingga suci dari haidhnya.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: “Nabi telah masuk ke tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: “Demi Allah, aku berkeinginan seandainya aku tidak haji pada tahun ini”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali engkau sedang haidh?” Aku menjawab: “Benar”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

"Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk wanita keturunan Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang yang haji, kecuali engkau jangan thawaf di Ka'bah, sehingga engkau suci". [HR Al Bukhari].

d. Keyakinan sebagian jama'ah haji bahwa pakaian ihram bagi kaum wanita harus memiliki warna tertentu, seperti warna hijau atau warna lainnya.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Adapun sebagian orang awam yang mengkhususkan pakaian ihram bagi wanita dengan warna hijau atau hitam, dan tidak boleh dengan warna yang lain, maka hal ini tidak ada asalnya”.[1]

e. Keyakinan bahwa pakaian ihram yang dipakai oleh jama'ah haji tidak boleh diganti meskipun kotor.
Hal ini merupakan suatu kesalahan dari jama'ah haji. Sebenarnya boleh untuk mengganti pakaian ihram mereka dengan yang semisalnya, dan boleh juga untuk mengganti sandal. Tidak menjauhi kecuali larangan-larangan ketika ihram, sedangkan hal ini bukanlah termasuk larangan.

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz: "Tidak mengapa untuk mencuci pakaian ihram dan tidak mengapa untuk menggantinya, atau menggunakan pakaian yang baru, atau yang sudah dicuci”.[2]

f. Talbiyah secara berjama'ah dengan satu suara.
Ibnu Al Haaj berkata : "Yakni, hendaknya mereka tidak mengerjakannya dengan satu suara, karena hal ini termasuk bid'ah, bahkan setiap orang bertalbiyah sendiri-sendiri tanpa bertalbiyah dengan suara orang lain, dan hendaknya terdapat ketenangan dan keheningan yang mengiringi talbiyah ini…".[3]

g. Ketika ihram, sebagian jama'ah membuka pundak-pundak mereka seperti dalam keadaan idh-thiba' (Membuka pundak sebelah kanan dan menutup sebelah kiri dengan kain ihram).
Idh-thiba' tidak disyari'atkan kecuali ketika thawaf qudum atau thawaf umrah. Selain itu, tidak disyari'atkan dan pundak tetap dalam keadaan tertutup dengan pakaian ihramnya.

Berkata Ibnu Abidin dalam Hasyiyah-nya: "Yang sunnah adalah melakukan idh-thiba' sebelum thawaf hingga selesai, tidak ada yang lain daripada itu".[4]

Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah : "Apabila telah selesai dari thawaf, maka dia mengembalikan rida'nya (pakaian atas dari ihramnya) seperti keadaan semula, karena idh-thiba' dikerjakan ketika thawaf saja".[5]

h. Keyakinan bahwa shalat dua raka'at setelah ihram hukumnya wajib.
Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua raka’at setelah ihram. Bahwasanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah melakukan shalat fardhu, maka dianjurkan ihram setelah shalat fardhu.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Disunnahkan untuk ihram setelah selesai shalat, baik fardhu atau sunnah, jika dikerjakan pada waktu sunnah. (Demikian) menurut satu di antara dua pendapat. Dan menurut pendapat yang lain, jika dia shalat fardhu, maka dia ihram sesudahnya, dan jika bukan waktu shalat fardhu, maka bagi ihram tidak ada shalat yang mengkhususkannya. Dan ini adalah pendapat yang paling kuat".[6]

2. KESALAHAN KETIKA THAWAF.
a. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad.
Hal ini termasuk perbuatan ghuluw dalam agama. Sebagian orang mempunyai keyakinan agar lebih berhati-hati. Akan tetapi, hal ini tidak bisa diterima, karena sikap hati-hati yang benar adalah apabila kita mengikuti syari'at dan tidak mendahului Allah dan RasulNya.

b. Sebagian jama'ah haji berpedoman dengan do'a-do'a khusus, terkadang mereka dipimpin oleh seseorang untuk mentalkin, kemudian mereka mengulang-ulanginya secara bersama-sama.
Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal. Pertama. Karena di dalam thawaf tidak ada do'a khusus. Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi n bahwa di dalam thawaf terdapat do'a khusus. Kedua. Bahwa do'a secara berjama'ah adalah perbuatan bid'ah. Perbuatan ini mengganggu bagi orang lain yang juga sedang thawaf. Yang disyari'atkan ialah, setiap orang berdo'a sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suaranya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Didalam hal ini –yakni thawaf- tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik perintah atau ucapan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkan hal itu. Bahkan setiap orang berdo'a dengan do'a-do'a yang masyru' (disyariatkan). Adapun yang disebut oleh kebanyakan orang bahwa terdapat do'a tertentu di bawah Mizab dan tempat lainnya, maka hal itu sama sekali tidak ada asalnya”.[7]

c. Sebagian jama'ah haji mencium Rukun Yamani.
Hal ini merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya disentuh dengan tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah Hajar Aswad, apabila kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak mampu, maka diusap. Jika tidak bisa (diusap) juga, maka kita cukup dengan memberi isyarat dari jarak jauh.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Adapun Rukun Yamani, menurut pendapat yang shahih, dia tidak boleh dicium". [8]

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Telah shahih dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menciumnya, atau mencium tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyantuhnya".[9]

d. Sebagian jama'ah haji mengerjakan thawaf dari dalam Hijir Isma'il.
Dalam masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam Hijir Ismail ketika thawaf, karena sebagian besar hijir termasuk dalam area Ka'bah, padahal Allah memerintahkan untuk thawaf mengelilingi Ka'bah, bukan thawaf di dalam Ka'bah".[10]

e. Keyakinan sebagian orang yang thawaf, bahwa shalat dua raka'at setelah thawaf harus dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim.
Yang benar, shalat dua raka'at setelah thawaf boleh dikerjakan dimana saja dari Masjidil Haram, dan tidak wajib untuk dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim, sehingga tidak berdesak-desakan dan mengganggu jama'ah lainnya.[11]

f. Ketika thawaf, sebagian jama'ah haji mengusap-usap setiap yang mereka jumpai di dekat Ka'bah, seperti Maqam Ibrahim, dinding Hijir Isma'il dan kain Ka'bah, dan yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun seluruh sudut Ka'bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid dan dindingnya, dan kuburnya para nabi dan orang-orang yang shalih, seperti kamar Nabi kita, dan tempatnya Nabi Ibrahim dan tempat Nabi kita yang dahulu mereka gunakan untuk shalat, dan selainnya dari kuburnya para nabi serta orang yang shalih, atau batu yang di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan ulama, semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga untuk dicium".[12]

g. Sebagian jama'ah wanita berdesak-desakan ketika hendak mencium Hajar Aswad.
Padahal Allah telah berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

"Haji adalah pada bulan-bulan yang telah ditetapkan, barangsiapa yang mengerjakan haji, maka janganlah berbuat rafats dan berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji". [Al Baqarah : 197].

Berdesak-desakan ketika haji akan menghilangkan rasa khusyu' dan akan melupakan dalam mengingat Allah. Padahal, dua hal ini termasuk maksud yang utama ketika kita thawaf.[13]

h. Sebagian jama’ah haji tetap idh-thiba' setelah selesai thawaf dan shalat dua raka'at dalam keadaan idh-thiba'.
Dalam hal ini terdapat dua kesalahan. Pertama. Yang sunnah dalam idh-thiba', yaitu ketika thawaf qudum. Kedua. Mereka terjatuh ke dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat sedangkan pundak mereka terbuka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ

"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu baju yang tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari kain". [HR Al Bukhari].

i. Mengeraskan niat ketika memulai thawaf.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi tidak mengatakan ‘aku niatkan thawafku tujuh putaran di Ka'bah begini dan begini’ -hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata- bahkan hal ini termasuk bid'ah yang munkar".[14]

j. Raml (lari kecil) pada tujuh putaran seluruhnya.
Yang sunnah ialah, melakukan raml pada tiga putaran yang pertama. Adapun pada empat putaran yang terakhir berjalan seperti biasanya.

k. Keyakinan mereka bahwa Hajar Aswad bisa memberi manfaat.
Sebagian di antara jamaah haji, setelah menyentuh Hajar Aswad, mereka mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya atau mengusapkan kepada anak-anak kecil yang bersama mereka. Hal ini merupakan kejahilan dan kesesatan, karena manfaat dan madharat datangnya dari Allah. Dahulu Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata:

وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

"Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan menciummu".

l. Setelah selesai dari shalat dua raka'at, mereka berdiri dan berdo'a secara berjama'ah dan dikomando oleh seseorang.
Hal ini bisa mengganggu orang lain yang sedang shalat di dekat maqam. Mereka melampaui batas ketika berdo'a. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

"Berdo'alah kepada Rabb kalian dengan khusyu' dan perlahan, sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas". [Al A'raf : 55].

3. KESALAHAN DALAM SA'I.
a. Melakukan sa'i antara Shafa dan Marwa sebanyak empatbelas kali, dimulai dari Shafa dan berhenti di Shafa kembali.

Padahal yang sunnah ialah tujuh kali, bermula dari Shafa dan berakhir di Marwa.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Hal ini adalah salah terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah dinukil oleh seorangpun dari beliau, dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari para imam yang telah dikenal pendapat mereka, meskipun hal ini dikatakan oleh sebagian orang belakangan yang menyandarkan kepada imam. Di antara hal yang menjelaskan kesalahan pendapat ini (sa'i empatbelas kali), bahwasanya beliau berbeda dalam hal ini. Beliau mengakhiri sa'i di Marwa. Jika seandainya berangkat dan kembali dihitung sekali, pasti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengakhiri sa'i di Marwa".[15]

b. Shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i, seperti ketika selesai dari thawaf.
Shalat dua raka'at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh sunnah. Adapun shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i adalah bid'ah yang munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam masalah ini tidak bisa diqiyaskan, karena bertentangan dengan nash yang shahih dalam sa'i.

c. Terus melakukan thawaf dan sa'i meskipun shalat di Masjidil Haram telah dikumandangkan iqamat.
Dalam masalah ini, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Hendaknya (orang yang sedang sa'i atau thawaf) shalat bersama orang lain, kemudian baru menyempurnakan thawaf dan sa'inya yang telah dia kerjakan sebelum shalat".[16]

d. Sebagian jama'ah haji, mereka sa'i dalam keadaan idh-thiba'.
Seharusnya dia tidak idh-thiba', karena tidak ada dalilnya dalam hal ini. Imam Ahmad mengatakan: "Kami tidak mendengar sesuatu (tentang sunnahnya ketika sa'i) sedikitpun juga". [17]

e. Sebagian jamaah haji berlari-lari di seluruh putaran antara Shafa dan Marwa.
Hal ini menyelisihi sunnah, karena berlari hanya di antara dua tanda hijau saja. Yang lainnya adalah jalan seperti biasa.

f. Sebagian wanita berlari di antara dua tanda hijau seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki.
Padahal wanita tidak dianjurkan untuk lari, namun berjalan biasa di antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: "Bagi kaum wanita tidak disunnahkan raml (berlari kecil) di sekitar Ka'bah, dan (tidak) juga antara Shafa dan Marwa".
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Adapun kaum wanita, (ia) tidak disyari'atkan untuk berjalan cepat di antara dua tanda hijau, karena wanita adalah aurat. Akan tetapi, disyari'atkan bagi mereka untuk berjalan di seluruh putaran".[18]

g. Sebagian orang yang sa'i, setiap kali menghadap Shafa dan Marwa selalu membaca:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ .

Padahal yang sunnah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali menghadap kepada Shafa saja.

4. KESALAHAN KETIKA WUKUF DI ARAFAH.
a. Sebagian jama'ah haji berdiam di luar batasan Arafah dan tinggal di tempat itu hingga terbenam matahari, kemudian mereka langsung menuju Muzdalifah.
Hal ini merupakan kesalahan besar. Karena wukuf di Arafah hukumnya rukun, dan tidak akan sah hajinya tanpa rukun ini, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ

"Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam harinya sebelum terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah mendapatkan wukuf". [HR At Tirmidzi]

b. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
Dalam masalah ini Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, hal ini adalah haram, menyelisihi sunnah Nabi. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wukuf hingga matahari terbenam dan hilang cahayanya. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari merupakan hajinya orang jahiliyah.

c. Mereka menghadap ke arah bukit Arafah, sedangkan kiblat berada di belakang atau di arah kanan dan kirinya. Sebagian mereka mempunyai keyakinan, bahwa ketika wukuf harus memandang bukit Arafah atau pergi dan naik kesana.

Anggapan seperti ini menyelisihi sunnah, karena sunnah dalam hal ini ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: "Menghadap ke arah bukit Arafah atau tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau anjuran. Bahkan, jika dia mengharuskan hal ini dan meyakini bahwa perbuatan ini afdhal, maka mengerjakannya merupakan bid'ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud beribadah disana merupakan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".[20]

d. Bercepat-cepat dan bersegera ketika meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah.
Sebagian orang sangat tergesa-gesa dengan kendaraan mereka dan dengan suara klakson yang mengganggu orang lain, sehingga terjadi hal-hal yang tidak terpuji, seperti saling mencela dan saling mendo'akan kejelekan di antara mereka.

Berkata Ibnu Al Haaj: "Apabila seseorang meninggalkan Arafah setelah matahari terbenam, maka hendaknya dia berjalan pelan-pelan, dan wajib baginya untuk tenang, perlahan dan khusyu". [21]

5. KESALAHAN KETIKA MELEMPAR JUMRAH
a. Keyakinan, bahwa mereka harus mengambil kerikil dari Muzdalifah.
Anggapan seperti ini tidak ada asalnya sama sekali. Dahulu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ialah memerintahkan Ibnu Abbas untuk mengambil kerikil, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam naik di atas kendaraan. Yang nampak dari kisah ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di dekat jumrah.

Berkata Syaikh Ibnu Baz: "Apa yang dikerjakan oleh sebagian orang untuk mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah sebelum mengerjakan shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa hal itu masyru', maka hal ini merupakan kesalahan yang tidak ada asalnya. Nabi n tidak memerintahkan untuk diambilkan kerikil, kecuali ketika beliau n meninggalkan Masy'aril Haram menuju Mina. Kerikil yang diambil dari mana saja sah baginya, tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh diambil di Mina". [22].

b. Keyakinan mereka bahwa ketika melempar jumrah, seakan-akan sedang melempar setan.
Maka dari itu, ketika melempar jumrah mereka berteriak dan memaki, yang mereka yakini sebagai setan. Semua hal ini tidak ada asalnya di dalam syari'at kita yang mulia.

c. Melempar dengan sandal atau sepatu dan batu yang besar.
Hal ini bertentangan dengan Sunnah Nabi, karena beliau n melempar dengan batu kerikil, dan beliau memerintahkan umatnya untuk melempar dengan semisalnya. Dalam hal ini, beliau memperingatkan dari ghuluw.

d. Mereka tidak berhenti untuk berdo'a setelah melempar jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik.
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berdiri setelah melempar jumrah ula dan wustha, dengan menghadap ke arah kiblat mengangkat kedua tangannya dan berdo'a dengan do'a yang panjang.

6. KESALAHAN KETIKA MENCUKUR RAMBUT.
Sebagian jama'ah haji mencukur sebagian dari rambutnya dan menyisakan sebagian lainnya.
Mengomentari hal ini Syaikh Ibnu Baz berkata: "Menurut pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama, tidak sah jika memendekkan sebagian rambut atau hanya mencukur sebagian rambutnya. Bahkan yang wajib adalah mencukur seluruh rambutnya atau memendekkan seluruhnya. Dan yang afdhal ialah memulai dengan bagian kanan terlebih dahulu sebelum yang kiri".[23]

7. KESALAHAN KETIKA ZAIARAH KE MASJID NABAWI.
a. Keyakinan bahwa ziarah ke Masjid Nabawi ada hubungannya dengan haji dan termasuk penyempurna bagi hajinya.

Anggapan seperti ini merupakan kesalahan yang nyata, karena ziarah ke Masjid Nabawi tidak ditetapkan dengan waktu tertentu, dan tidak ada hubungannya dengan haji. Barangsiapa yang pergi haji dan tidak ziarah ke Masjid Nabawi, hajinya sah dan sempurna.

b. Sebagian orang yang ziarah ke kubur Nabi, mereka mengeraskan suara di dekat kuburan. Mereka berkeyakinan, bahwa jika berdo'a di dekat kubur Nabi akan memiliki kekhususan tertentu.

Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak disyari'atkan untuk berdo'a di dekat kuburan, meskipun orang yang berdo'a tidak menyeru kecuali kepada Allah. Hal ini meruapakan perbuatan bid'ah dan menjadi wasilah menuju kesyirikan. Dahulu, kaum salaf tidak pernah berdo'a di dekat kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka mengucapkan salam kepada beliau.

Wallahu a'lam.

Maraji':
1. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jama' Abdur Rahman bin Qasim.
2. At Tahqiq wa Al Idhah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baaz.
3. Hajjatu an Nabiyyi Kama Rawaaha anhu Jabir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Al Maktab Al Islami, Tahun 1405H.
4. Manasiku al Hajji wa al Umrah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, Cet. Dar al Waki', Tahun 1414 H.
5. Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad As Sadhan, Cet. Dar Syaqraa', Tahun 1416 H, dan Mukhtashar-nya.
6. Al Mindhar Fi Bayani Katsirin min al Akhtha' asy Syaai'ah, Ma'aali Syaikh Shalih Alu Syaikh, Cet. Dar al Ashimah, Tahun 1418 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. At Tahqiq wa al Idhah, hlm. 17.
[2]. Fatawa Muhimmah, hlm. 25.
[3]. Lihat Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah (mukhtashar), hlm. 11.
[4]. Hajjatu an Nabiyyi, hlm. 111.
[5]. Al Manhaj fi Shifati al Umrati wa al Hajj, hlm. 22.
[6]. Majmu' Fatawa, 26/109.
[7]. Majmu' Fatawa, 26/122.
[8]. Majmu' Fatawa, 26/97.
[9]. Zaadul Ma'ad, 2/225.
[10]. Majmu' Fatawa, 26/121.
[11]. Manasiku al Hajji wal Umrah, hlm. 92.
[12]. Majmu' Fatawa, 26/121.
[13]. Manasik al Hajji wa al Umrah, hlm. 88
[14]. Zaadu al Ma'ad, 2/225.
[15]. Zaadu al Ma'ad, hlm. 213-214.
[16]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 23.
[17]. At Tahqiq wa Al Idhah, 41.
[18]. Manasikul Hajji wa Al Umrah, 95.
[19]. Al Mindhar, 59.
[20]. Al Mindhar,
[21]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 25.
[22]. At Tahqiq wa al Idhah, hlm. 53.
[23]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 29.

Alhamdulillah, blog counter kali dikunjungi

SHOLAT JAMAAH KEDUA DALAM SATU MASJID

SHOLAT JAMAAH KEDUA DALAM SATU MASJID
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Sumber: http://itishom.web.id

Permasalahan

Bolehkah melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang sebelumnya telah dilakukan sholat berjamaah oleh Imam Rawatib?

Perbedaan Pendapat

Pendapat I :
Tidak boleh, atau sebaiknya tidak melakukan jamaah kedua di masjid tersebut. Ini adalah pendapat Jumhuurul Ulama’

Ulama’ yang berpendapat demikian:
Sahabat Nabi : riwayat dari Ibnu Mas’ud
Tabi’in : al-Hasan al-Bashri, Abu Qilaabah, Ibrohim an-Nakho’i, ,Nafi’ maula Ibn Umar, Salim bin Abdillah
Imam Madzhab : Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i
Ulama lain : al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, dan Ibnul Mubarok (guru Al-Bukhari).
Ulama Abad ini : Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany

Dalilnya :
1). Hadits riwayat atThobarony dari Abu Bakrah:
“Sesungguhnya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam datang dari pinggiran Madinah menuju sholat, dan beliau mendapati manusia telah sholat, maka beliau kembai ke rumah, mengumpulkan keluarganya, dan sholat bersama mereka” (H.R atThobarony, al-Haitsamy menyatakan bahwa rijaalnya tsiqoot, dihasankan oleh Syaikh al-Albaany).

2) Hadits Muttafaqun ‘Alaih dari Abu Hurairah:
Sungguh aku sangat berkeinginan menyuruh seseorang mencari kayu bakar kemudian dinyalakan, lalu aku perintahkan manusia shalat dan dikumandangkanlah adzan, kemudian aku perintahkan seseorang mengimami mereka. Sedangkan aku pergi kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat jama'ah) kemudian aku bakar rumah-rumah mereka (Muttafaqun ‘alih).
Sisi Pendalilan: Berdasarkan hadits ini, Nabi mengancam membakar rumah-rumah laki-laki dewasa yang tidak menghadiri sholat berjamaah di masjid. Jika memang diperbolehkan ada jamaah kedua, niscaya Nabi tidak akan mengancam membakar rumah mereka, karena jika mereka tertinggal pada jamaah pertama, mereka masih bisa mendirikan jamaah selanjutnya di masjid tersebut meskipun terlambat. Namun, hal itu tidak ditoleransi.

3). Seseorang yang datang terlambat karena udzur, kemudian mendapati jamaah telah selesai, maka ia mendapatkan pahala sholat berjamaah, meskipun sholat sendirian
Barangsiapa yang berwudlu’, kemudian berangkat ke masjid, dan mendapati manusia telah sholat, maka Allah akan berikan padanya pahala seperti orang yang sholat (berjamaah) tidak dikurangi dari pahala mereka sedikitpun (H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh alHakim, disepakati oleh Adz-Dzahaby, dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albaany).

Atsar Pendukung (Ucapan dan Perbuatan Sahabat Nabi atau Tabi’in)
1. Riwayat atThobarony dari Ibrohim an-Nakho’i:
Dari Ibrohim: Bahwasanya Alqomah dan al-Aswad berangkat bersama Ibnu Mas’ud menuju masjid dan mereka bertemu dengan manusia yang telah sholat, maka Ibnu Mas’ud kembali bersama mereka berdua ke rumah, dan menjadikan salah seorang di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya, kemudian sholat bersama mereka (riwayat atThobarony dalam Mu’jamul Kabiir).

2.Ucapan al-Hasan al-Bashri:

Para Sahabat Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam jika masuk masjid dan telah selesai (jamaah sholat), maka mereka sholat sendiri-sendiri (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf (2/323))

Pendapat II :
Boleh sholat berjamaah lagi bersama orang lain yang belum sholat juga, ketika jamaah pertama telah selesai.

Ulama’ yang berpendapat demikian:
Sahabat Nabi : Anas bin Malik, juga riwayat dari Ibnu Mas’ud
Tabi’in: Atha’ bin Abi Robah, Qotadah, riwayat dari alHasan al-Bashri
Imam Madzhab : Imam Ahmad
Ulama’ lain : Ishaq bin Rahuyah (salah seorang guru Imam al-Bukhari).
Ulama’ abad ini : Fatwa alLajnah AdDaaimah, Syaikh Bin Baz, Syaikh Sholih al-Fauzan, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin

Dalil yang digunakan:
1. Keumuman keutamaan sholat berjamaah
Sholat berjamaah lebih utama dibandingkan sholat sendirian dengan kelipatan 27 derajat (H.R Muslim)

2. Hadits Abu Sa’id al-Khudry:
Dari Abu Sa’id beliau berkata: Datang seorang laki-laki pada saat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam telah sholat (bersama Sahabat), maka beliau bersabda: Siapa di antara kalian yang mau (bershodaqoh) mendapatkan pahala dengan (laki-laki) ini? Maka bangkitlah salah seorang laki-laki lain kemudian sholat bersama laki-laki tersebut. (H.R atTirmidzi dishahihkan oleh Syaikh al-Albaany).

Atsar Pendukung (Ucapan dan Perbuatan Sahabat Nabi atau Tabi’in)

Perbuatan Anas bin Malik:
Anas bin Malik datang ke masjid yang telah selesai ditegakkan sholat padanya, maka beliau adzan dan iqomat dan sholat berjamaah (diriwayatkan oleh alBukhari secara ta’liq dan menurut alHafidz riwayat ini dimaushulkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya, juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq)

Pendapat yang Lebih Kuat
Pendapat yang membolehkan adalah pendapat yang lebih kuat, karena:

1. Hadits Abu Bakrah yang disebutkan di atas di dalamnya ada sisi kelemahan:
a). Tadlis al-Walid bin Muslim.
Meskipun al-Walid bin Muslim tsiqoh, namun ia adalah mudallis (sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam Syarh Sunan Abi Dawud). Sedangkan periwayatannya tersebut adalah ‘an-anah.
b). Perawi Muawiyah bin Yahya Abu Muthi’ dilemahkan oleh sebagian Ahlul Hadits, di antaranya: ad-Daruquthny menyatakan bahwa periwayatannya lebih banyak yang munkar dibandingkan periwayatan As-Shodafy. Namun, beberapa Ulama lain menyatakan ia tsiqoh, shoduq, atau laa ba’sa (tidak mengapa), di antaranya Abu Dawud, Abu Hatim, dan Yahya bin Ma’in.
Salah seorang ulama’ yang mengisyaratkan sisi kelemahan hadits tersebut di antaranya adalah al-Mubarokfury dalam Tuhfatul Ahwadzi.

2. Hadits Abu Said alKhudry yang dijadikan dalil oleh pendapat yang membolehkan adalah dalil yang kuat dan tidak terbantahkan.

3. Hadits Abu Hurairah tentang ancaman dibakarnya rumah-rumah orang-orang yang tidak mendatangi masjid tidak bisa dijadikan dalil tidak bolehnya melakukan jamaah ke dua, karena kalau yang harus diikuti secara mutlak adalah jamaah pertama, niscaya Nabi tidak akan menyuruh orang menjadi Imam dan beliau sendiri bersama beberapa orang berkeliling membakar rumah yang lelakinya tidak datang ke masjid, namun beliau tentunya akan mengimami sholat pertama dulu, baru setelah itu melaksanakan ancaman tersebut.

4. Ucapan Hasan al-Bashri yang menyatakan bahwa para Sahabat Nabi jika mendapati jamaah sholat telah selesai, maka mereka sholat sendirian, adalah karena para Sahabat tersebut takut terhadap sulthan. Hal ini sebagaimana ucapan Al-Hasan al-Bashri yang lain:
Mereka membenci membuat sholat jamaah (baru) hanya karena takut pada sulthan (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf (2/322))

5. Perbuatan Ibnu Mas’ud sebagaimana disebutkan dalam atsar tersebut adalah ijtihad beliau, dan berbeda dengan yang dilakukan oleh Anas bin Malik.

Faidah dan Kesimpulan

Kebolehan melakukan sholat berjamaah baru di masjid yang sama setelah selesainya sholat berjamaah bersama Imam Rowatib harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Seseorang harus senantiasa bersemangat untuk tidak ketinggalan sholat jamaah yang pertama bersama Imam Rowatib. Tidak boleh bermalas-malasan dan menunggu sampai selesainya jamaah sholat pertama dengan alasan masih diperbolehkannya membuat jamaah baru setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah:
Kalau seandainya manusia mengetahui keutamaan (besar) yang ada pada adzan dan shof yang pertama, kemudian mereka tidak mendapatinya kecuali harus diundi, niscaya mereka akan mengundinya, kalau seandainya mereka mengetahui keutamaan yang besar dalam datang di awal waktu sholat niscaya mereka akan berlomba-lomba (Muttafaqun ‘alaih).

2. Jika dua orang atau beberapa orang datang mendapati jamaah sholat (bersama Imam rowatib) sedang tahiyyat akhir, sebaiknya mereka bergabung dalam jamaah sholat tersebut dan tidak membuat jamaah baru, karena hadits Nabi:
Jika kalian mendatangi sholat, hendaknya tenang. Apa yang kalian dapatkan maka sholatlah, dan apa yang tidak kalian dapatkan, maka sempurnakan (Muttafaqun ‘alaih).
Syaikh Bin Baz berdalil dengan hadits ini untuk menunjukkan bahwa lebih utama bagi mereka ikut bersama jamaah pertama yang hampir mengakhiri sholat (Lihat Majmu’ Fataawa Bin Baaz juz 12 halaman 158).

3. Tidak diperbolehkan bagi sekelompok orang menyengaja terlambat untuk membikin jamaah baru sebagai suatu kebiasaan, apalagi karena merasa berbeda madzhab dengan Imam, sehingga masing-masing membikin jamaah sendiri sesuai madzhabnya. Hal ini adalah salah satu bentuk sikap memecah belah kaum muslimin yang terlarang.

4. Hendaknya seseorang bersemangat untuk tetap sholat berjamaah. Jika ia mendapati jamaah sholat yang bersama Imam rowatib telah selesai, maka ada beberapa hal yang bisa ia lakukan:
a)Jika ada orang lain yang baru datang dan juga belum sholat berjamaah, ia bisa sholat berjamaah bersamanya, atau ada seseorang yang telah sholat berjamaah akan sholat bersama dia dengan penuh kerelaan sebagai shodaqoh.
b) Jika ia tidak mendapati adanya orang di masjid tersebut yang bisa diajak sholat berjamaah, maka sebaiknya ia pulang ke rumah, jika di rumah ia bisa mendapati orang yang bisa diajaknya sholat berjamaah. Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Mas’ud bersama Alqomah dan al-Aswad.
c) Jika dia tidak bisa mendapati orang yang bisa diajak sholat berjamaah di masjid ataupun di rumah, maka lebih utama ia sholat sendirian di masjid, dibandingkan ia sholat sendirian di rumah, karena Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
…karena sesungguhnya sholat yang paling utama dilakukan seseorang laki-laki adalah di rumahnya kecuali sholat wajib” (H.R al-Bukhari)

5. Tidak boleh memaksakan kehendak dalam perbedaan pendapat semacam ini. Jika kita mengetahui dengan pasti bahwa Imam Rawatib tidak suka adanya jamaah baru di masjid tersebut, sebaiknya hal tersebut tidak dilakukan.

Wallaahu Ta’ala A’lam Bisshowaab
(Abu Utsman Kharisman)
------------------
Daftar Rujukan:
Tamaamul Minnah karya Syaikh al-Albaany
Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan atTirmidzi karya alMubarakfuri
Fatwa al-Lajnah adDaaimah
Majmu’ Fataawa Ibn Baaz

Alhamdilillah,blog counter kali dikunjungi

26 Februari 2011

HINDARI TOLOK UKUR KEBENARAN ALA JAHILIYAH [1]

Hindari Tolok Ukur Kebenaran Ala Jahiliyah
Selasa, 22 Februari 2011 22:18:50 WIB
Oleh: Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/2988/slash/0

Setiap kali mendengar kata-kata jahiliyah, maka tergambarlah di benak kita dengan berbagai kebiasaan buruk yang dilakukan manusia sebelum kedatangan Islam. Dan memang, semua yang dikaitkan dengan kata-kata jahiliyah, semuanya memiliki konotasi buruk dan kita dilarang mengikutinya.

Alhamdulillah, secara umum masa Jahiliyah itu sudah berakhir [2] seiring dengan diutusnya Muhammad n sebagai rasul dengan membawa Al Qur`an sebagai pedoman hidup. Namun, ini bukan berarti semua tradisi jahiliyah juga sudah terkikis habis. Tradisi atau tabiat jahiliyah masih ditemukan pada diri seseorang atau satu kelompok tertentu, atau bahkan pada satu wilayah negara. Sebagaimana tersirat dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar ada seseorang menghina kawannya dengan ucapan “Hai anak wanita hitam!” Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menegurnya dengan bersabda: “Apakah engkau menghinanya karena ibunya?” Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ

Sesungguhnya engkau manusia yang masih terjerat tabiat jahiliyah [HR Muslim].

Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ

Ada empat perkara jahiliyah yang ada pada umatku, mereka tidak meninggalkannya ; yaitu mencaci keturunan, membanggakan kedudukan, meratapi orang meninggal dunia, serta mengaitkan turunnya hujan dengan bintang-bintang.[3]

Juga ketika terjadi pertengkaran antara seorang Anshar dan Muhajirin, lalu masing-masing mencari pendukung. Seseorang yang dari Anshar memanggil orang Anshar “hai, orang Anshar!” dan dari Muhajirin memanggil orang Muhajirin, dia berkata “wahai kaum Muhajirin”. Menanggapi kejadian tersebut, Rasulullah bersabda,”Apakah kalian masih bangga dengan semboyan jahiliyah, sementara aku masih berada di tengah kalian? Tinggalkanlah fanatisme itu, karena itu berbau busuk!”

Dari sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, para ulama berpendapat, masih adanya tradisi jahiliyah yang melekat di tengah masyarakat. Sehingga para ulama bangkit menjelaskannya, agar masyarakat menjauhinya dan tetap istiqamah menempuh jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena tradisi jahiliyah bertentangan dengan syariat yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Diantara tradisi jahiliyah yang diperingatkan oleh para ulama agar dijauhi, yaitu tradisi jahiliyah dalam menilai sebuah kebenaran dan sumber nilai itu sendiri. Islam mengajarkan kepada penganutnya agar meyakini dan mengamalkan semua yang diperintahkan dalam Al Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman Salafush Shalih. Begitu juga dalam menilai sesuatu itu benar atau tidak, Islam mengajarkan agar mejadikan Al Qur’an dan Sunnah tolok ukurnya. Berbeda dengan tradisi jahiliyah, mereka menjadikan pendapat nenek moyang serta pendapat mayoritas orang sebagai tolok ukur. Yang sejalan dianggap benar dan yang bertentangan dinilai salah.

BERALASAN DENGAN KEBIASAAN MAYORITAS MANUSIA, TANPA MELIHAT DALILNYA

Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Suatu kebenaran didasarkan kepada pendapat mayoritas. Sebaliknya, pendapat minoritas dianggapnya sebagai kebathilan tanpa melihat dalil-dalilnya. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman.

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya [Al An’am : 116].

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Al A’raf : 187].

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik. [Al A’raf : 102].

Dan masih banyak lagi ayat lain yang menjelaskan hal itu.

Jadi, yang menjadi tolok ukur kebenaran bukanlah mayoritas ataupun minoritas, akan tetapi, seharusnya adalah kebenaran itu sendiri, meskipun pendapat ini dianut oleh satu orang saja. Jika mayoritas manusia berjalan di atas pendapat yang bathil, maka harus ditolak. Oleh sebab itu, para ulama berkata “kebenaran itu tidak bisa dikenali dengan manusia, tetapi justru manusia itu dikenali dengan kebenaran”. Siapapun yang berjalan di atas kebenaran, maka ia harus diikuti.
Ketika menceritakan umat-umat terdahulu, Allah l memberitahukan bahwa minoritas sering berada dalam kebenaran. Sebagaimana firman Allah :

وَمَآءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيلٌ

Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. [Hud : 40].

Dalam sebuah hadits terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperlihatkan tentang pengikut para nabi terdahulu. Ada nabi yang diikuti oleh beberapa orang saja. Ada yang hanya disertai oleh seorang saja, bahkan ada nabi yang tanpa pengikut.

Jadi tolok ukur kebenaran bukan karena jumlah pengikutnya yang besar, tetapi tolok ukurnya adalah kebenaran atau kebathilan yang menyertainya. Setiap yang benar meskipun pengikutnya sedikit, maka harus dipegang teguh. Itulah jalan keselamatan. Dan semua kebathilan, tidak bisa berubah menjadi benar hanya karena jumlah pengikutnya yang banyak. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ

Islam itu muncul sebagai agama yang asing dan suatu saat akan kembali asing sebagaimana pertama kali muncul. [4]

Maksudnya ketika kejahatan, fitnah dan kesesatan melanda manusia, yang tersisa berpegang teguh dengan kebenaran hanyalah segelintir orang yang dianggap asing, hanya beberapa gelintir orang dari suku-suku yang ada, sehingga menjadi asing di tengah masyarakat. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, umat manusia berada dalam kekufuran dan kesesatan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tampil mengajak manusia, namun hanya diterima oleh beberapa orang saja, yang kemudian terus bertambah banyak. Suku Quraisy, seluruh tanah Arab, juga seluruh dunia berada dalam kesesatan. Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri mengajak umat manusia kepada kebenaran, tetapi yang menerima dakwah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikutinya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah manusia di seluruh dunia. Allah berfirman :

وَمَآأَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. [Yusuf:103].

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya. [Al An’am:116].

BERARGUMENTASI DENGAN PENDAPAT LELUHUR (NENEK MOYANG) TANPA MENELITI SUMBER PENDAPAT ITU

Ketika para rasul datang membawa kebenaran dari Allah Azza wa Jalla, kaum jahiliyah membantahnya dengan menggunakan pendapat nenek moyang mereka. Ketika Nabi Musa Alaihissallam mengajak Fir’aun agar beriman, Fir’aun berdalih dengan pendapat orang-orang kafir terdahulu. Ini merupakan argumen yang bathil dan alasan ala jahiliyah. Begitu pula jawaban kaum Nabi Nuh Alaihissallam ketika diajak untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla, mereka justru berkata sebagaimana tersebut di dalam Al Qur`an :

مَاهَذَآ إِلاَّبَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لأَنزَلَ مَلاَئِكَةً مَّاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي ءَابَآئِنَا اْلأَوَّلِينَ

Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu. [Al Mukminun:24]

Mereka menolak dakwah Nabi Nuh Alaihissallam dengan pendapat nenek moyang mereka yang disangka benar. Adapun ajaran yang dibawa Nabi Nuh Alaihissallam dianggap salah, juga karena bertentangan dengan pendapat nenek moyang mereka. Begitu juga orang-orang kafir Quraisy ketika menyanggah dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka mengatakan:

مَاسَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ اْلأَخِرَةِ إِنْ هَذَآ إِلاَّ اخْتِلاَقٌ

Kami tidak pernah mendengar hal ini (mengesakan Allah) dalam agama yang terakhir; ini tidak lain hanyalah(dusta) yang diada-adakan. [Shad:7].

Maksud dari agama yang terakhir ialah, ajaran nenek moyang mereka. Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dianggap merupakan dusta. Mengapa? Tidak lain karena bertentangan dengan ajaran nenek moyang orang-orang Quraisy yang menyembah berhala. Mereka tidak kembali kepada agama kakeknya, yaitu Ibrahim Alaihissallam dan Ismail Alaihissallam. Tetapi justru menyanggahnya dengan merujuk kepada nenek moyang mereka yang lebih muda. Maksudnya bapak-bapak dan kakek-kakek mereka di Mekkah, yaitu orang-orang kafir Quraisy. Itulah kebiasaan orang-orang kafir jahiliyah, yaitu beralasan dengan orang-orang terdahulu, tanpa melihat sumber pengambilannya.

Padahal, semestinya orang yang berakal memperhatikan ajaran para rasul, lalu membandingkannnya dengan ajaran nenek moyangnya, agar tampak jelas antara yang haq dan yang bathil. Menutup diri sembari mengatakan “kami hanya menerima pendapat nenek moyang kami saja dan tidak menerima pendapat yang bertentangan dengannya” ini, bukanlah tradisi orang-orang yang berakal, lebih-lebih bagi yang menginginkan kesalamatan.

Sekarang ini, bila penyembah kubur dilarang melakukannya, biasanya mereka mengatakan, “ini merupakan tradisi di negeri fulan”, “ini kebiasaan anggota jama’ah fulan”, atau “inilah kebiasaan orang-orang terdahulu”. Begitu juga orang-orang yang terbiasa merayakan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bila dilarang, mereka akan membantah “ini sudah dilakukan oleh orang-orang sebelum kami, kalau memang perayaan ini bathil, tentu tidak akan mereka lakukan”.

Inilah di antara hujjah ala jahiliyah. Menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang boleh dijadikan sebagai ukuran hanyalah Al Qur`an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat yang mendapat bimbingan langsung dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah tolok ukur kebenaran yang benar. Yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti benar. Allah tidak pernah menyuruh manusia mengikuti nenek moyangnya. Kalaulah tradisi nenek moyang sudah cukup bagi kita, tentu Allah k tidak akan mengutus seorang rasul ke dunia.

(Diangkat dari kitab Syarh Masail Jahiliyah, Karya Syaikh Shalih Fauzan bin Abdullah Al Fauzan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syarah Masail Jahiliyah, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan.
[2]. Lihat Syarh Masail Jahiliyah, hlm. 14.
[3]. HR Bukhari dengan ringkas dan Muslim, dan lafazh dari Muslim no. 934.
[4]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim, no. 146.
Alhamdilillah,blog counter kali dikunjungi

23 Februari 2011

Bukti Cinta Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

06 Robbi-ul Awwal 1432 | 11 February 2011 – 1:50 am |
Sumber:
http://www.buletin-alilmu.com/bukti-cinta-rasul-shalallahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam

Buletin Islam AL ILMU Edisi: 10/3/9/1432

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang rasul pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, manusia terbaik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih untuk menyampaikan risalah-Nya kepada segenap manusia, membimbing dan menunjukkan mereka kepada cahaya Islam, iman, serta ketaatan kepada-Nya.

Dengan sifat amanah yang melekat pada diri beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , ajaran dan risalah Islam ini telah tersampaikan kepada umat dengan lengkap dan sempurna. Tidak ada satu kebaikan pun, kecuali telah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ajarkan kepada umatnya; dan tidak ada satu kejelekan pun, kecuali beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah memperingatkan umatnya agar berhati-hati dan menjauh darinya.

Ini semua merupakan nikmat besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-Nya, dengan diutusnya seorang rasul untuk mengajak dan membimbing mereka kepada jalan yang lurus, jalan menuju kemenangan dan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan kadar kecintaan yang lebih besar daripada kecintaannya kepada orang tuanya sendiri, anaknya, dan manusia seluruhnya. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian, hingga dia menjadikan aku sebagai seorang yang lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” [Muttafaqun 'Alaihi]

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan: “Seorang mukmin itu tidaklah menjadi seseorang yang benar-benar beriman sampai dia mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam daripada kecintaannya kepada seluruh makhluk, dan kecintaan kepada Rasulullah itu mengiringi kecintaan kepada Dzat yang mengutusnya (Allah).” [Jami'ul 'Ulum wal Hikam]

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengancam orang-orang yang lebih mementingkan kecintaannya kepada urusan dunia daripada kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan ancaman akan mendatangkan adzab kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib keluarga kalian, dan juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah (adzab Allah) sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [At-Taubah: 24]

Bahkan terhadap dirinya pun, seorang mukmin yang jujur dalam keimanannya akan lebih mendahulukan kecintaannya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam daripada diri dan jiwanya sendiri.

Pada suatu ketika, shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu, kecuali diriku sendiri.”

Yakni ‘Umar radhiyallahu ‘anhu benar-benar mencintai Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu. Kecuali dirinya, shahabat ‘Umar  lebih mencintai dirinya sendiri daripada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam .

Ketika mendengar penuturan salah seorang shahabatnya yang mulia tersebut, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pun bersabda:

لاَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ.

“Tidak (wahai ‘Umar), demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bahkan hendaknya aku juga menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”

Setelah mendengar nasehat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tersebut, shahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pun mengatakan:

“Sesungguhnya sekarang ini, demi Allah, engkau benar-benar seorang yang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pun bersabda:

الآنَ يَا عُمَرُ.

“Sekarang wahai ‘Umar.” [HR. Al-Bukhari]

Yakni sekarang, beliau benar-benar telah merealisasikan cintanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , dengan melebihkan kecintaannya kepada beliau daripada kecintaannya kepada siapapun, termasuk terhadap dirinya sendiri.

Bukti Cinta Rasul Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Mencintai Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah termasuk kewajiban yang paling agung dalam agama ini.” [Ar-Raddu 'alal Akhna-i, hal. 231]

Tentunya, kecintaan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bukanlah sekedar pengakuan yang hanya digembar-gemborkan saja, namun cinta rasul merupakan sebuah prinsip agung yang membutuhkan bukti dari setiap orang yang mengaku cinta kepada junjungannya tersebut.

Jika dahulu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam masih hidup, para shahabat benar-benar merealisasikan cintanya kepada beliau dengan berjuang bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , mengorbankan harta, jiwa, dan bahkan keluarga mereka sendiri untuk menjalankan syariat Islam demi tegaknya agama Allah Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi ini. Ketika datang perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , mereka bersegera untuk mengamalkannya, sami’na wa atha’na. Pun ketika mendengar larangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dari suatu perbuatan tertentu, mereka bersegera untuk meninggalkan dan menjauhi perbuatan tersebut.

Kini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah wafat, namun kewajiban untuk mencintai beliau tetap berlaku bagi umat Islam yang datang sepeninggal beliau hingga hari kiamat. Di antara hal-hal yang bisa dilakukan oleh setiap mukmin untuk membuktikan cintanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah:

1. Menaati perintah dan menjauhi larangan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Tidak sepatutnya bagi seseorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , namun ketika mendengar perintahnya, ia enggan untuk melaksanakannya padahal ia mampu; atau mendengar larangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , namun ia tetap bergelimang dalam perbuatan yang dilarang beliau. Orang yang mengaku cinta Rasul hendaknya menjadi orang pertama yang menaati beliau.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

“Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali orang-orang yang enggan. Para shahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang enggan tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Barangsiapa yang menaatiku, dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dialah orang yang enggan.” [HR. Al-Bukhari]

2. Membenarkan semua berita yang disampaikan oleh beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , tanpa ada keraguan sedikitpun

Setiap berita yang disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , wajib untuk diyakini kebenaran tanpa ada keraguan sedikitpun, baik berita yang beliau sampaikan tersebut tentang peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau maupun yang akan datang, bahkan berita tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi nanti pada hari kiamat dan sesudahnya.

Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah seorang rasul yang sabda-sabdanya berdasarkan wahyu sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an (artinya):

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

3. Menjalankan ibadah kepada Allah sesuai dengan bimbingan dan petunjuk beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Semua bentuk ritual ibadah dalam agama ini hendaklah ditunaikan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, karena barangsiapa yang mengamalkan suatu ibadah yang tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam , maka ibadahnya itu akan sia-sia. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang bukan termasuk bagian dari perintah (petunjuk) kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Muslim]

4. Mendahulukan perkataan dan ketentuan syariat beliau daripada perkataan dan pendapat seorang pun selain beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Tidak boleh bagi siapapun untuk meragukan atau bahkan menolak dan meninggalkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam serta ketentuan syariat yang telah beliau tetapkan disebabkan ucapan atau pendapat seseorang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman (artinya):

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujurat: 1]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Umat Islam telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah (perkataan dan ketentuan syariat) dari Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut disebabkan perkataan seseorang.” [Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 50]

Siapapun dia, baik ustadz, kyai, maupun tokoh ulama pun, jika perkataan dan pendapatnya menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam yang shahih), maka harus ditinggalkan dan wajib untuk mengikuti apa yang telah disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah (Hadits-hadits) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam .

5. Mencintai orang-orang yang beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam cintai

Para pembaca, di antara bentuk kecintaan terhadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga adalah mencintai orang-orang yang beliau cintai, yaitu para shahabat, baik dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Termasuk di antara orang-orang yang beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam cintai adalah Ahlul Bait beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam (yang termasuk di dalamnya adalah istri-istri beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam), dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah (ajaran) beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam . Di samping mencintai mereka, hendaknya juga mendoakan kebaikan dan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala (artinya):

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [Al-Hasyr: 10]

6. Berpegang teguh dengan sunnah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Berikutnya, kewajiban yang harus dijalankan oleh seseorang yang mengaku cinta kepada nabinya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah mencintai dan membela sunnah-(ajaran)nya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, serta berpegang teguh dengannya, dan kemudian berupaya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus membenci dan berusaha untuk membersihkan umat ini dari segala bentuk pemikiran, aqidah, akhlaq, mu’amalah dan ritual ibadah dalam agama ini yang menyelisihi ajaran beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam serta tidak pernah dicontohkan olehnya.

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Di antara bentuk kecintaan kepada beliau adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariatnya, berangan-angan untuk berjumpa beliau semasa hidupnya, dan kemudian dia mengorbankan harta dan jiwanya demi membela beliau.” [Syarh Shahih Muslim]

7. Bershalawat kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam

Termasuk bukti kecintaan seorang mukmin terhadap beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah dengan banyak bershalawat kepadanya Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan.

Bershalawat kepada beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam termasuk ibadah, maka harus sesuai dengan apa yang telah beliau contohkan, bukan dengan shalawat-shalawat yang tidak ada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

Wallahu a’lam bish shawab.

Alhamdulillah, blog counter kali dibaca

Diseño WebImprenta Sevilla

KEMUNGKARAN DEMONSTRASI (UNJUK RASA) MENENTANG PENGUASA MUSLIM

Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman
Selasa, 22 Pebruari 2011 15:49


Sumber:

http://itishom.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=66:kemungkaran-demonstrai&catid=5:manhaj&Itemid=6

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.

Demonstrasi seperti yang terjadi di sebagian negara muslim untuk menggulingkan pemerintah atau meminta pemerintah muslim untuk mengundurkan diri, adalah suatu perbuatan yang bukan berasal dari ajaran Islam, tapi cara tersebut diadopsi dari perilaku orang-orang kafir.

Berikut ini kami sebutkan beberapa hal yang merupakan keburukan demonstrasi:

1. Tidak menjalankan perintah Nabi untuk menasehati penguasa secara diam-diam

Bimbingan dari Nabi adalah memberikan nasehat kepada penguasa/ pemimpin muslim secara langsung ( 4 mata) tanpa harus diketahui oleh orang lain.

Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ يَأْخُذ بِيَدِه فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ (رواه الحاكم و ابن أبي عاصم في السنة عن عياض بن غنم)

Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa, hendaknya janganlah menyampaikannya secara terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia ambil tangannya, kemudian menyendiri bersamanya (dan menyampaikan nasehatnya). Jika diterima, itulah (yang diharapkan), jika tidak, maka ia telah menyampaikan kewajibannya (H.R alHakim dan Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dari Iyaadl bin Ghonam).

Semoga kita juga bisa mengambil pelajaran dari sikap Sahabat Usamah bin Zaid yang ditanya oleh sebagian orang: ‘Mengapa engkau tidak menasehati Utsman’? Usamah bin Zaid menyatakan bahwa apakah kalau ia menasehati Utsman, harus diketahui orang lain? Beliau telah menyampaikan nasehat secara langsung kepada Utsman. Perhatikan pula kefaqihan Usamah bin Zaid. Ia menyatakan: Aku tidak ingin menjadi pembuka pintu (fitnah) (hadits riwayat alBukhari dan Muslim). Usamah bin Zaid sangat paham bahwa menegur penguasa secara terang-terangan akan membuka pintu kejelekan dan fitnah. Karena itu beliau menasehati Utsman bin Affan secara diam-diam.

Perhatikan pula sikap Sahabat Nabi Abdullah bin Abi Aufa ketika didatangi oleh Said bin Jumhan dan membicarakan kedzhaliman penguasa, Abdullah bin Abi Aufa segera menegur dengan keras dengan menarik tangannya, sambil menyatakan:

وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ

Celaka engkau wahai putra Jumhan! Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham (Nabi dan para Sahabatnya), Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham, Hendaknya engkau berpegang teguh dengan as-Sawaadul a’dzham. Jika sultan (penguasa) mau mendengar darimu, datangilah ke rumahnya dan khabarkan tentang apa yang engkau ketahui. Jika diterima, itulah (yang diharapkan), jika tidak, maka sesungguhnya engkau tidaklah lebih tahu dibandingkan dia (riwayat Ahmad).

Salah satu pelajaran penting dari Sahabat yang mulya ini –selain adab menasehati penguasa- adalah janganlah rakyat merasa ia lebih tahu dibandingkan penguasanya. Seringkali orang merasa bahwa apa yang dilakukan pemimpin salah. Kebijakannya menyimpang. Padahal ia hanya menilai dari sudut pandang yang terbatas, sudut pandang rakyat. Seringkali pemimpin lebih tahu karena sudut pandangnya lebih luas (karena wilayah kekuasaannya lebih luas), info yang didapatkan lebih lengkap.

Bahkan, sikap menasehati penguasa secara diam-diam (tidak terang-terangan) itu adalah hak penguasa yang semestinya ditunaikan oleh rakyat. Diriwayatkan bahwa Sahabat Nabi Umar bin al-Khoththob radliyallaahu ‘anhu pernah berkhutbah:

أَيَّتُهَا الرَّعِيَّة إِنَّ لَنَا عَلَيْكُمْ حَقًّا النَّصِيْحَةُ باِلْغَيْبِ وَالْمُعَاوَنَةُ عَلَى الْخَيْرِ

Wahai sekalian rakyat, sesungguhnya kami memiliki hak terhadap kalian: nasehat bilghoib (tanpa diketahui orang lain), dan menolong dalam kebaikan…. (diriwayatkan oleh al-Hannad dalam az-Zuhud dan atThobary dalam Tarikhnya, dua jalur periwayatan ini saling menguatkan).

Said bin Jubair pernah bertanya tentang tata cara amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap penguasa kepada Sahabat Nabi Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu. Ibnu Abbas menyatakan:

إِنْ خِفْت أَنْ يَقْتُلَك فَلاَ تُؤَنِّبَ الإِمَامَ ، فَإِنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَفِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ (مصنف ابن أبي شيبة)

Jika engkau khawatir penguasa akan membunuhmu, janganlah engkau mencela penguasa. Jika engkau harus melakukannya (memberikan nasehat) maka hendaknya dilakukan antara dirimu dan dirinya saja (4 mata)(riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).

Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu pernah memberikan arahan:

إِذَا أَتَيْتَ الأَمِيرَ الْمُؤَمِنُ فَلاَ تؤتيه أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ(مصنف ابن أبي شيبة)

Jika engkau mendatangi pemimpin mukmin, janganlah bersama seorangpun dari manusia (yang lain) (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).

Sahabat Nabi Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu juga pernah mengingkari dan menegur dengan keras sikap Abu Bilal yang mencela terang-terangan pemimpin Abdullah bin Amir. Abu Bakrah menganggap sikap Abu Bilal itu adalah penghinaan terhadap sulthan, dan dikhawatirkan akan mendapatkan adzab kehinaan dari Allah (sebagaimana diriwayatkan oleh atTirmidzi dalam Sunannya).

2. Mencela Penguasa

Demonstrasi akan mengarahkan orang untuk mencela penguasa. Padahal orang yang beriman dilarang untuk mencela penguasa mereka. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَ لاَ تغشُّوْهُم وَ لاَ تَعْصُوهُمْ وَ اتَّقُوا اللهَ وَ اصْبِرُوا فَإِنَّ الأَمْرَ قَرِيْبٌ ( رواه ابن أبي عاصم في السنة و البيهقي في شعب الإيمان وقال الألباني في ظلال الجنة إسناده جيد)

Jangan kalian cela pemimpin (umara’) kalian, jangan menipu mereka, jangan bermaksiat kepada mereka (dalam hal yang ma’ruf), dan bertaqwalah kepada Allah serta bersabarlah karena al-amr (urusan ini) telah dekat (H.R Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah dan dinyatakan oleh Syaikh al-Albany bahwa sanadnya jayyid (baik)).

Sahabat Nabi Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu menyatakan:

الأكابر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم ينهونا عن سب الأمراء

Pembesar-pembesar dari kalangan Sahabat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang dari mencela umara’ (pemimpin) (diriwayatkan oleh Abu Amr ad-Daany dalam as-Sunan al-Waridah fil Fitan).

Ubadah bin Nusaiy (salah seorang tabi’in yang mulya, murid dari Sahabat Nabi Abu Sa’id al-Khudry) menyatakan:

أَوَّلُ النِّفَاقِ الطَّعْنُ فِي اْلأَئِمَّة (تهذيب الكمال)

Awal kemunafikan adalah mencela para pemimpin (Tahdzibul Kamal (14/197) karya alImam al-Mizzi)

Mencela dan menjelek-jelekkan pemimpin muslim adalah sesuatu hal yang bertentangan dengan bimbingan al-Qur’an. Nabi Musa dan Nabi Harun diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun dengan ucapan yang lembut.

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut agar ia menjadi ingat atau takut (Q.S Thaha:44).

Kepada Fir’aun yang demikian kafir, Allah perintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang halus dan bukan kata-kata kasar, hardikan, atau celaan, apalagi terhadap pemimpin yang masih muslim.

3. Bisa menyebabkan seseorang Mencabut Ketaatan terhadap Pemerintah Muslim

Demonstrasi yang dilakukan bisa meruntuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyat, karena kejelekan-kejelekannya dibeberkan. Hal tersebut pada akhirnya bisa menggiring pelaku demonstrasi tersebut atau orang lain yang terpengaruh dengannya untuk tidak mau taat lagi pada pemerintahnya meski dalam hal-hal yang ma’ruf.

Semestinya jika pemimpin memerintahkan kepada kemaksiatan, maka janganlah taat kepada kemaksiatan itu saja, namun tetap taat dalam hal-hal lain yang ma’ruf yang tidak mengandung kemaksiatan. Rasulullah shollalaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)

Dan jika kalian melihat sesuatu yang kalian benci ada pada pemimpin kalian, bencilah perbuatannya, tapi jangan cabut ketaatan (darinya)(H.R Muslim).

4. Tasyabbuh (Meniru tata cara orang Kafir)

Perbuatan demonstrasi tersebut adalah tasyabbuh dengan orang-orang kafir, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh al-Albany. Hendaknya seorang muslim khawatir dengan perilaku-perilaku yang meniru-niru akhlaq dan tata cara orang-orang kafir yang justru menimbulkan mudharat (kerusakan) yang lebih banyak. Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum tersebut (H.R Abu Dawud)

5. Mengajak Orang untuk Tidak Bersabar

Seorang muslim dibimbing oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam untuk sabar dalam menghadapi kedzhaliman penguasa. Disebutkan dalam sebagian hadits:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ (متفق عليه)

Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya terdapat suatu hal yang ia benci, maka bersabarlah (Muttafaqun ‘alaih).

Ketika Yazid bin Mu’awiyah dibaiat sebagai pemimpin, sampailah kabar itu kepada Sahabat Nabi Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhu, beliau berkata:

إنْ كَانَ خَيْرًا رَضِينَا ، وَإِنْ كَانَ شَرًّا صَبَرْنَا

Jika memang baik (kepemimpinannya) kami akan ridla, jika buruk, kami akan sabar (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya).

Sedangkan demonstrasi adalah perwujudan ketidaksabaran dalam menghadapi hal tersebut.

Bukan berarti tidak perlu adanya nasehat kepada penguasa muslim, namun hendaknya nasehat itu diberikan dengan adab-adab yang telah dibimbingkan oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alahi wasallam dan para Sahabatnya (sebagaimana disebutkan dalam poin pertama di atas), jika tidak memungkinkan sampainya nasehat tersebut, maka hendaknya bersabar dan berdoa.

Al-Imam Ibnu Abdil Bar menyatakan:

إن لَم يكن يتمكن نصحُ السلطان، فالصبر والدعاء، فإنَّهم كانوا ـ أي الصحابة ـ ينهون عن سبِّ الأمراء

Jika tidak memungkinkan memberikan nasehat kepada penguasa, maka hendaknya ia bersabar dan berdoa, karena sesungguhnya mereka –para Sahabat Nabi- melarang dari mencela para pemimpin (at-Tamhiid juz 21 hal 287).

Memang, seharusnya para rakyat harus bersabar, karena keadaan pemimpin adalah merupakan perwujudan keadaan rakyatnya. Jika rakyat baik, Allah akan memberikan pemimpin yang baik, jika tidak maka Allah akan beri pemimpin yang sebaliknya.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan demikianlah Kami menjadikan sebagian orang yang dzhalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan perbuatan mereka (Q.S al-An’am:129).

Sahabat Nabi Ka’ab al-Ahbar radliyallaahu ‘anhu pernah menyatakan:

إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى نَحْوِ قُلُوْبِ أَهْلِهِ فَإِذَا أَرَادَ صَلاَحَهُمْ بَعَثَ عَلَيْهِمْ مُصْلِحًا وَ إِذَا أَرَادَ هَلَكَتَهُمْ بَعَثَ فِيْهِمْ مُتْرَفِيْهِمْ

Sesungguhnya pada setiap zaman terdapat penguasa (raja) yang Allah bangkitkan sesuai keadaan hati rakyatnya. Jika Allah menginginkan kebaikan bagi mereka, Allah bangkitkan orang yang melakukan perbaikan, jika Allah menginginkan kebinasaan mereka, Allah bangkitkan di dalam mereka orang-orang yang banyak bermewah-mewahan di antara mereka (riwayat alBaihaqy dalam Syu’abul Iman dan Abu Nu'aim dalam Hilyatul Awliya').

6. Meninggalkan Sikap Mendoakan Kebaikan pada Penguasa

Demonstrasi akan menyulut kebencian terhadap penguasa, kebencian itu akan menyebabkan seseorang justru tidak mendoakan kebaikan bagi penguasa. Kalaupun ia mendoakan, justru ia akan mendoakan keburukan (laknat) bagi penguasa. Akibatnya, justru keadaan penguasa tersebut akan semakin buruk.

وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ

Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, mereka melaknat kalian dan kalianpun melaknat mereka (H.R Muslim).

dalam riwayat lain dinyatakan:

وَإِنَّ شِرَارَ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ ، وَيُبْغِضُونَكُمْ ، وَتَدْعُونَ عَلَيْهِمْ وَيَدْعُونَ عَلَيْكُمْ

Dan sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci kepadanya dan iapun benci kepada kalian, dan kalian mendoakan (keburukan) untuk mereka, dan mereka pun mendoakan (keburukan) untuk kalian (H.R alBazzar)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam membimbing kita untuk berdoa memohon hak kita kepada Allah, bukan mendoakan keburukan untuk penguasa:

إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ

Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku pemimpin-pemimpin yang mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Para Sahabat bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami jika menemui hal itu? Rasul bersabda: tunaikan kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah (berdoa)(Muttafaqun ‘alaih).

Mendoakan kebaikan untuk penguasa adalah salah satu syi’ar Ahlussunnah, sebaliknya para pengikut hawa nafsu akan cenderung mendoakan keburukan untuk penguasa.

Al-Imam al-Barbahary-rahimahullah- menyatakan:

إذا رأيت الرجلَ يدعو على السلطان فاعلم أنَّه صاحبُ هوى، وإذا سمعتَ الرجلَ يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنَّه صاحبُ سنَّة إن شاء الله تعالى

Jika engkau melihat seorang laki-laki mendoakan keburukan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa (nafsu), dan jika engkau mendengar laki-laki mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah Ahlussunnah –insyaAllah-(Syarhus Sunnah).

7. Menyebabkan Pemimpin Lebih Sulit Menerima Kebenaran

Penyampaian nasehat dengan cara yang beradab akan lebih mudah untuk diterima, dibandingkan dengan cara demonstrasi yang kerap kali diiringi dengan celaan dan membeber kesalahan-kesalahan di muka umum.

Umar bin al-Khottob saja sempat marah ketika ditegur langsung dan dianggap tidak adil di hadapan orang lain, tapi untungnya kemudian beliau diingatkan dengan ayat AlQur’an. Umar adalah termasuk seorang yang terdepan mampu menghentikan gejolak hatinya ketika diingatkan dengan Al-Qur’an

عَنِ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِ بْنِ حُذَيْفَةَ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسٍ وَكَانَ مِنْ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنِيهِمْ عُمَرُ وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ يَا ابْنَ أَخِي هَلْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الْأَمِيرِ فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ قَالَ سَأَسْتَأْذِنُ لَكَ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَاسْتَأْذَنَ الْحُرُّ لِعُيَيْنَةَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ قَالَ هِيْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ وَلَا تَحْكُمُ بَيْنَنَا بِالْعَدْلِ فَغَضِبَ عُمَرُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ فَقَالَ لَهُ الْحُرُّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ } وَإِنَّ هَذَا مِنْ الْجَاهِلِينَ وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّه (رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas –radliyallahu ‘anhuma- beliau berkata: Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah datang kepada anak saudaranya (keponakannya) al-Hurr bin Qois. Al-Hurr adalah seorang yang didekatkan Umar (pada majelisnya), al-Hurr adalah al-Qurra’ (seorang yang mahir membaca alQuran) dan orang yang sering diajak muswayarah dalam majelis Umar. (Umar memang sering mengajak musyawarah para ahli ilmu baik orang dewasa maupun para pemuda). Uyainah berkata kepada anak saudaranya: Bukankah engkau memiliki kedudukan di sisi pemimpin ini. Mintakan aku ijin kepadanya. (Al-Hurr) berkata: Aku akan memintakan ijin untukmu. Kemudian Umar mengijinkan.. Ketika Uyainah masuk menuju Umar ia berkata: Wahai putra al-Khottob, demi Allah engkau tidaklah memberikan kepada kami pemberian yang banyak, dan engkau tidak menetapkan hukum terhadap kami dengan adil. Maka Umar marah, sampai-sampai ia hampir saja hendak ( memukulnya). Kemudian alHurr berkata: Wahai Amirul Mu’minin sesungguhnya Allah Ta’ala telah berkata kepada NabiNya shollallaahu ‘alaihi wasallam:

{ خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ }

Ambillah (sifat) memaafkan, dan perintahkan kepada hal yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh

Sedangkan orang ini (Uyainah) adalah orang yang bodoh. (Ibnu Abbas berkata): Demi Allah, Umar tidaklah melampaui (sikapnya untuk hendak memberikan hukuman) ketika al-Hurr membaca ayat tersebut. Dan ia (Umar) adalah seorang yang paling bisa berhenti ketika (dibacakan) Kitabullah (H.R alBukhari).

Perhatikanlah, Umar bin al-Khottob saja bisa marah jika dicela di hadapan orang lain tidak dengan cara yang beradab. Beliau tidak marah jika diingatkan dengan ayat Allah dengan cara yang santun dan beradab.

Tentang kisah seorang wanita yang menegur Umar karena membatasi jumlah mahar, sebagian Ulama’ melemahkan riwayat tersebut, di antaranya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany dalam Irwaa’ul Gholil. Kalaupun riwayat itu sah (menurut pendapat Ibnu Katsir) wanita tersebut menjaga adab-adab dalam menyampaikan nasehat. Ia tidak langsung mengatakan bahwa Umar telah salah, tapi ia lebih dulu mengatakan:

يا أمير المؤمنين كتاب الله أحق أن يتبع أو قولك

Wahai Amirul Mukminin, apakah yang lebih berhak diikuti adalah Kitabullah atau ucapanmu?

(Perhatikan, ia memanggil dengan sebutan: Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukminin), dan memberikan muqoddimah terlebih dahulu, tanpa langsung menyalahkan Umar).

Umar menyatakan:

بل كتاب الله بم ذاك

Justru Kitabullah (yang harus diutamakan), ada apa?

Wanita itu menyatakan:

إنك نهيت الناس آنفا أن يغالوا في صدق النساء ، والله عز وجل يقول في كتابه : وآتيتم إحداهن قنطارا ، فلا تأخذوا منه شيئا

Sesungguhnya anda baru saja melarang manusia untuk berlebihan dalam membayar mahar wanita, sedangkan Allah Azza Wa Jalla berfirman dalam KitabNya:

وَآَتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا

Sedangkan engkau memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, janganlah mengambil darinya sedikitpun…(Q.S anNisaa’: 20).

Umar kemudian menyatakan:

كل أحد أفقه من عمر

Setiap orang lebih berilmu dari Umar (riwayat alBaihaqy dalam as-Sunanul Kubro dan at-Thohawy dalam Musykilul Atsar).

8. Lebih Menyerupai Akhlaq Orang-orang Fajir

Seorang mukmin ketika menyampaikan nasehat, ia ikhlas menyampaikannya untuk kebaikan saudaranya. Salah satu bentuk keikhlasan itu ditunjukkan dengan cara nasehat disampaikan secara diam-diam, langsung kepada pihak yang dituju, dengan penyampaian yang baik. Sedangkan demonstrasi lebih jauh dari sifat ikhlas karena menjadi ajang menyebutkan aib-aib dan kejelekan pihak yang didemo.

Al-Fudhail bin Iyyadl menyatakan:

المؤمن يستر وينصح والفاجر يهتك ويعير

Seorang mukmin menyembunyikan (aib) dan menasehati, sedangkan seorang fajir merusak (kehormatan) dan membeberkan aib-aib (Lihat Jaamiul Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab).

Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan:

من وعظ أخاه سراً فقد نصحه وزانه ، ومن وعظه علانية فقد فضحه وخانه

Barangsiapa yang memberikan nasehat kepada saudaranya secara sembunyi-sembunyi, maka sesungguhnya ia telah bersikap nasihat dan memperindahnya, dan barangsiapa yang memberikan nasehat kepada saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mengumbar aibnya dan berkhianat terhadap saudaranya (riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliya’).

9. Bisa Mendatangkan Kehinaan

عَنْ زِيَادِ بْنِ كُسَيْبٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ كُنْتُ مَعَ أَبِي بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ ابْنِ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَقَالَ أَبُو بِلَالٍ انْظُرُوا إِلَى أَمِيرِنَا يَلْبَسُ ثِيَابَ الْفُسَّاقِ فَقَالَ أَبُو بَكْرَةَ اسْكُتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

Dari Ziyad bin Kusaib al-Adawiy beliau berkata: Aku pernah bersama Abu Bakrah (Sahabat Nabi) di bawah mimbar (penguasa) Ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan menggunakan pakaian tipis. Kemudian Abu Bilal berkata: Lihatlah kepada pemimpin kita yang memakai pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah berkata: Diamlah! Aku mendengar Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang menghinakan Sulthan Allah di muka bumi, Allah akan menghinakannya (H.R atTirmidzi, dihasankan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’).

Perhatikanlah, Sahabat Nabi Abu Bakrah menganggap orang yang menyebutkan aib penguasa di hadapan orang lain sebagai orang yang menghinakan sultan, dan dikhawatirkan Allah akan menghinakan dia.

Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا مِنْ قَوْمٍ مَشَوْا إِلَى سُلْطَانِ اللهِ لِيَذِلُّوهُ إِلاَّ أَذَلَّهُمُ اللَّهُ قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Tidaklah suatu kaum berjalan menuju Sulthan Allah untuk menghinakannya, kecuali Allah akan hinakan mereka sebelum hari kiamat (H.R alBazzar dari Hudzaifah, al-Haitsamy menyatakan bahwa seluruh perawinya adalah perawi as-Shahih, selain Katsir bin Abi Katsir at-Taimy yang merupakan perawi tsiqoh (terpercaya)).

10. Menyebabkan Pertumpahan Darah

Tidak jarang demonstrasi menentang penguasa menyebabkan adanya korban tewas di kalangan kaum muslimin. Perhatikanlah kejadian di Mesir (lebih dari 270 orang tewas), Libya (lebih dari 200 orang tewas). Semuanya adalah akibat demonstrasi.

Padahal, satu saja jiwa muslim sangat berharga dan harus dijaga. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

Sungguh-sungguh hilangnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya satu orang muslim (H.R atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany).

Sahabat Nabi Ibnu Umar pernah memandang Ka’bah sambil berkata:

مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ

Sungguh agungnya engkau, dan sungguh agung kehormatanmu, dan seorang mukmin lebih agung kehormatannya di sisi Allah dibandingkan engkau(riwayat atTirmidzi).

Seorang mukmin sangat terhormat darah, harta, dan a’radhnya (karakter atau jati dirinya) sebagaimana disebutkan oleh Nabi ketika Haji Wada’.

11. Mengakibatkan Konflik Antar Kelompok

Kalaulah demonstrasi tidak menyebabkan pertumpahan darah, seringkali memicu bentrokan antar kelompok. Baik antar kelompok yang anti dengan kelompok yang pro, atau antar demonstran dengan aparat keamanan. Padahal, tidak jarang masing-masing kelompok itu adalah sama-sama muslim.

Bentrokan itu acap kali berupa pelemparan batu, pukulan, saling dorong, tembakan peluru hampa, atau semisalnya yang seringkali menyebabkan adanya pihak-pihak yang terluka, cacat, atau juga kerusakan pada kendaraan dan fasilitas umum.

12. Membuang-buang Waktu, Biaya, dan Tenaga

Jika sudah jelas bahwa demonstrasi bukan bagian dari petunjuk Nabi dan para Sahabatnya, maka perbuatan tersebut adalah sia-sia. Hanya membuang-buang waktu, biaya, dan tenaga. Betapa banyak orang yang tersibukkan dengan demonstrasi menyebabkan ia meninggalkan pekerjaan yang lebih bermanfaat, baik di rumah atau tempat kerjanya.

13. Keluarnya Wanita dari Rumah sehingga Menimbulkan Fitnah

Tidak jarang demonstrasi (unjuk rasa) di muka umum juga dilakukan para wanita. Hal ini merupakan salah satu bentuk kemunkaran dari perbuatan tersebut.

Secara asal, seorang wanita dituntunkan berada di dalam rumahnya. Tidaklah ia keluar kecuali karena ada kepentingan yang mendesak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan tinggallah kalian (wahai wanita) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya kaum jahiliyah terdahulu (Q.S al-Ahzab:33).

Demikianlah, beberapa kemunkaran demonstrasi. Banyaknya kemunkaran tersebut tidaklah hanya terbatas pada hal-hal yang kami sebutkan ini saja. Hanya Allah Subhaanahu Wa ta’ala yang Maha Tahu atas keburukan-keburukan dan mafsadah di dalamnya.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperbaiki keadaan kaum muslimin dan pemimpin-pemimpin mereka….