20 Juli 2012

Meraih Keutamaan Berpuasa

Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 35/IX/IX/1432 

       Para pembaca rahimakumullah, alhamdulillah, wajib bagi kita untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang masih memberi kita kesempatan untuk bisa menjalankan puasa Ramadhan tahun ini. Semoga amalan ibadah kita baik puasa maupun yang lainnya diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Amin.

Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini akan kami sajikan beberapa fatwa para ulama tentang  beberapa hal yang berkaitan dengan puasa Ramadhan. Dengan harapan agar kita bisa beramal dengan ilmu dan bimbingan para ulama serta terjauhkan dari was-was (keraguan) dari syaithan.

[] Tanya: Apakah seorang yang akan menunaikan puasa Ramadhan wajib berniat setiap malam atau cukup berniat satu kali di awal bulan?
Jawab: Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya setiap ibadah termasuk ibadah puasa, akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah seorang yang akan menunaikan puasa Ramadhan wajib berniat setiap malam atau cukup berniat satu kali di awal bulan.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajibnya niat puasa Ramadhan setiap malam dan sudah termasuk niat bangunnya seseorang untuk makan sahur. Apabila dia tidak bangun kecuali setelah terbitnya fajar akan tetapi dia telah berniat puasa sebelum tidur maka tetap berpuasa dan puasanya sah. Ini adalah merupakan pendapat Al Imam Asy Syafi’i dan Al Imam Ahmad. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syaikh bin Baz dan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan cukup satu kali di awal bulan. Ini adalah merupakan pendapat Al Imam Malik, Al Laits dan Ash Shan’ani. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy Syaikh Al ‘Utsaimin. Beliau menambahkan, ”…kecuali jika puasanya terputus di pertengahan bulan dikarenakan udzur yang syar’i seperti safar (bepergian) atau sakit atau yang lainnya maka wajib baginya untuk memperbarui niatnya.”
Adapun niat adalah merupakan amalan hati tidak perlu untuk diucapkan, dan tidak pernah ada contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau mengucapkan niat.

[] Tanya: Apakah mimisan atau gusi berdarah membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Darah yang keluar dari gigi tidaklah mempengaruhi puasa, tetapi hendaknya seseorang menjaga semaksimal mungkin agar darah tersebut tidak tertelan. Demikian pula ketika mimisan, hendaknya dijaga agar tidak tertelan. Sesungguhnya keadaan yang seperti ini tidak mewajibkannya untuk berbuat apapun, tidak pula mengganti puasanya.”
“Mimisan tidaklah membatalkan puasa walaupun darah yang keluar banyak jumlahnya, karena hal itu terjadi di luar kesengajaan.”  Fatawa Arkanul Islam no. 416 dan 428.

[] Tanya: Apakah muntah membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Apabila seseorang muntah dengan sengaja maka batal puasanya. Namun jika tidak sengaja maka puasanya tidak batal. Dalil yang menerangkan tentang hal ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak kuasa menahan muntah (tidak sengaja) maka tidak ada kewajiban untuk mengganti puasa, sedangkan yang muntah dengan sengaja maka wajib mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Jika engkau tidak kuasa menahan muntah maka puasamu tidak batal. Jika seseorang merasakan mual pada perutnya dan merasa hendak muntah, maka aku nasehatkan agar tidak menahannya dan tidak pula memaksanya keluar. Bersikaplah secara wajar, jangan dipaksakan muntah dan jangan pula ditahan. Karena jika engkau paksakan muntah maka puasamu batal, dan jika engkau menahannya maka akan membahayakan dirimu. Jadi biarkan saja, jika memang keluar dengan sendirinya maka yang demikian itu tidaklah membahayakanmu dan tidak membatalkan puasamu.”  Fatawa Arkanil Islam no. 415.

[] Tanya: Apakah pemakaian infus membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Sesuatu yang tidak tergolong jenis makanan dan minuman akan tetapi berfungsi sebagaimana fungsi makanan dan minuman, semisal infus yang berfungsi pengganti makanan untuk menyuplai kebutuhan makanan bagi tubuh sehingga dengan itu seseorang tidak perlu makan dan minum. Demikian pula infus tambah darah bagi seseorang yang sakit,  karena mengingat tujuan dari makan dan minum adalah membentuk sel-sel darah sehingga jika seseorang disuntikkan darah sebagai tambahan, berarti telah dihasilkan tujuan makan dan minumnya. Maka perkara yang demikian ini membatalkan puasa.”
Beliau berkata, “Adapun suntikan yang tidak berfungsi sebagai pengganti makanan dan minuman, maka secara mutlak tidaklah membatalkan puasa, baik disuntikkan lewat urat ataupun lewat pembuluh darah.”  Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ hal. 352.

[] Tanya: Apakah mencicipi masakan membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa jika tidak sampai menelannya. Walau demikian, mencicipi masakan itu jangan dilakukan kecuali jika dibutuhkan. Apabila ketika mencicipi tersebut ada sesuatu yang masuk kelambungnya tanpa disengaja maka puasanya tidak batal.” Fatawa Fi Ahkamis Shiyam no. 329.
Dalam kitab Asy Syarhul Mumti’ beliau berkata, “Makruh hukumnya mencicipi makanan kecuali jika memang dibutuhkan maka tidak mengapa, seperti tukang masak yang ingin mengecek asin atau manisnya makanan.”

[] Tanya: Apakah menelan ludah membatalkan puasa?
Jawab: “Seorang yang menelan ludahnya tidaklah merusak puasanya walaupun banyak, baik ketika di masjid atau yang lainnya. Adapun dahak atau riak maka janganlah ditelan, akan tetapi ludahkanlah ke sapu tangan atau yang semisalnya jika engkau berada di masjid.” (Fatwa al-Lajnah ad-Da`imah no. 9584)

[] Tanya: Apa hukum memakai pasta gigi ketika sedang berpuasa?
Jawab: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Penggunaan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa jika tidak ditelan. Akan tetapi aku berpandangan bahwa bagi orang yang berpuasa untuk tidak menggunakannya di siang hari, namun gunakanlah di malam hari. Karena pasta gigi itu memiliki aroma/rasa yang sangat kuat yang kemungkinan bisa masuk kedalam perut dalam keadaan dia tidak menyadarinya.” Fatawa fi Ahkamish Shiyam no. 325.

[] Tanya: Apa hukum seseorang yang berbuka (membatalkan puasa) karena suatu udzur syar’i, kemudian di pertengahan hari udzur itu hilang darinya, apakah wajib untuk berpuasa di sisa harinya itu?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Tidak wajib baginya untuk menahan diri (dari makan dan minum), karena orang tersebut telah dibolehkan berbuka berdasarkan udzur syar’i. Syariat membolehkan berbuka bagi orang yang terpaksa untuk berbuka, misalkan bagi seseorang yang hendak minum obat yang jika dia meminumnya maka dia berbuka. Jika demikian maka keharaman hari itu tidak ada lagi karena dia telah diperbolehkan untuk berbuka, akan tetapi wajib baginya untuk mengganti (qadha’). Perintah kita kepada dirinya untuk menahan diri tanpa ada manfaat secara syar’i adalah tidak benar. Selama dia  tidak mendapatkan manfaat dengan menahan diri tersebut maka kita tidak boleh menyuruhnya berbuat demikian.” Fatawa Arkanil Islam no. 400.
Sampai pada ucapan beliau, “Semua orang yang tidak berpuasa di bulan ramadhan dengan adanya udzur syar’i maka tidak wajib baginya untuk menahan diri (dari makan dan minum di sisa harinya itu). Sebaliknya, bagi orang yang tidak berpuasa tanpa udzur maka wajib baginya untuk menahan diri, karena tidak halal baginya untuk berbuka. Dia sudah merusak keharaman hari itu tanpa adanya izin syar’i. kita harus memerintahkannya untuk tetap menahan diri dan mengganti puasanya  (qadha’), Allahu a’lam.”

[] Tanya: Apa hukum puasa seseorang yang tidur sehari penuh ketika berpuasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “ Puasamu hari itu tetap sah, namun engkau meninggalkan shalat dengan sebab tidurnya adalah perbuatan yang haram, karena tidak boleh bagi seseorang bermudah-mudahan dalam perkara shalat sampai pada batas tidur yang dapat melalaikan dari shalat dan tidak punya perhatian terhadap shalatnya. Maka wajib bagi seseorang apabila dia tidur dan tidak ada seseorang yang membangunkannya untuk shalat, hendaknya dia membuat alat pengingat seperti alarm dan semisalnya agar dia bisa bangun kemudian shalat dan tidur kembali jika dia menginginkannya. Terkait masalah ini, maka sungguh saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin dari hal-hal yang sebagian muslimin mengerjakannya, seperti begadang semalaman tanpa ada manfaat dan tidur sepanjang hari. Ini bukan termasuk kebiasaan para salaf di bulan Ramadhan. Bahkan mereka bersemangat menyibukkan diri pada waktu yang berharga ini dengan mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam ketaatan seperti shalat, dzikir, shadaqah dan berbuat baik kepada Penciptanya. Adapun orang yang tidak menggunakan waktunya dengan baik pada siang hari di bulan Ramadhan, kecuali menghabiskannya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, maka sesungguhnya ini bukan termasuk kebiasaan para Salafush Shalih.” Fatawa fi Ahkamish Shiyam no. 125. Hal serupa juga disampaikan oleh al-Lajnah ad-Da`imah dalam fatwa no. 12542.

[] Tanya: Apakah boleh bagi seseorang yang memilki pekerjaan yang berat untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Pendapat saya dalam permasalahan ini bahwa berbukanya dia disebabkan pekerjaannya adalah haram, tidak boleh dilakukan. Apabila tidak mungkin untuk dijamak antara bekerja dan berpuasa maka hendaknya dia meminta izin untuk tidak bekerja di bulan Ramadhan, sehingga memudahkan baginya untuk berpuasa di bulan tersebut. Yang demikian ini dikarenakan puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan.” Majmu’ Fatawa wa Rasa`il ibni ‘Utsaimin no. 94.

[] Tanya: Apa hukum seseorang yang sengaja mengeluarkan spermanya ketika sedang berpuasa?
Jawab: Al-Lajnah ad-Da`imah dalam fatwa no. 2192 menjelaskan, “Onani (mengeluarkan sperma dengan sengaja) hukumnya haram baik di bulan Ramadhan atau yang lainnya dan tidak boleh dikerjakan karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Mu’minun ayat: 5-7).
Bagi orang yang mengerjakannya di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa, maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan mengganti (qadha’) puasa tersebut. Dia tidak perlu membayar kafarat karena kafarat hanya dibebankan dalam permasalahan jimak saja.”

Wallahu a’lamu bish shawab.

Tafsir Ayat Puasa

Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)

Para pembaca rahimakumullah. Sungguh suatu kebahagiaan manakala kita diberi kesempatan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala untuk berjumpa kembali dengan bulan Ramadhan. Nikmat yang besar ini patut kita syukuri. Karena pada bulan ini, Allah subhaanahu wa ta’ala banyak melimpahkan karunia-Nya dan melipatgandakan pahala bagi amalan shalih  seorang hamba. Sebuah keutamaan yang sudah tidak asing lagi bagi kita.
Para pembaca yang berbahagia, ayat yang menjadi topik pembahasan kita kali ini merupakan ayat yang paling sering disebut-sebut di bulan yang penuh berkah ini. Hampir-hampir tidak ada satu da’i pun yang tidak menjadikan ayat ini sebagai tema ceramah yang disampaikannya. Demikian juga kaum muslimin secara umum, hampir tidak pernah menjumpai ayat ini luput dari pembahasan kajian pada media dakwah yang mereka ikuti.
Sebuah ungkapan yang sangat bijak, “Berilmu sebelum berkata dan beramal.” Oleh karena itu, pada buletin edisi kali ini, sengaja kami mengangkat pembahasan tentang tafsir ayat ke-183 surah Al-Baqarah tersebut. Dengan harapan hal ini akan membantu memberikan bekal ilmu dan pencerahan kepada segenap saudara-saudara kita kaum muslimin. Alangkah baiknya ketika kita membaca, mendengar, atau menyampaikan sebuah ayat, sekaligus kita juga mengerti maknanya serta memahami kandungan dan pelajaran yang terdapat pada Kalamullah tersebut. Betapa besarnya kebaikan yang akan diraih, manakala kita membangun perkataan dan amalan kita di atas pondasi ilmu yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah (hadits) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Puasa Ramadhan yang Diwajibkan
Pada ayat 183 surah Al-Baqarah di atas, Allah subhaanahu wa ta’ala mewajibkan puasa kepada kaum mukminin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa.”
Puasa apakah yang diwajibkan? Allah subhaanahu wa ta’ala tidak menyebutkannya secara langsung dalam ayat ini. Namun pada ayat yang lain, disebutkan bahwa puasa yang diwajibkan atas umat Nabi Muhammad ini adalah puasa Ramadhan. Setelah menyebutkan bahwa puasa yang diwajibkan itu lamanya beberapa hari yang ditentukan, kemudian Allah subhaanahu wa ta’ala menyatakan (artinya),
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (Al-Baqarah: 185)
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun (pondasi) agama Islam yang menguatkan bangunan keislaman seseorang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Islam itu dibangun di atas lima rukun: (1) Persaksian bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, (2) Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Berpuasa Ramadhan, dan (5) Menunaikan haji.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Sehingga barang siapa yang dengan sengaja meninggalkan puasa ini, maka sungguh lemahlah bangunan keislamannya, layaknya sebuah bangunan yang rusak pada salah satu pondasi atau bagian terpentingnya, dikhawatirkan bangunan tersebut akan roboh dan bahkan menimbulkan petaka bagi pemiliknya.

Puasa Juga Diwajibkan atas Umat Terdahulu
Allah subhaanahu wa ta’ala juga mewajibkan syari’at yang agung ini kepada umat-umat terdahulu, generasi yang hidup sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.”
Hal ini mengandung beberapa hikmah, di antaranya adalah:
Pertama, puasa merupakan amalan ibadah yang mengandung maslahat bagi segenap makhluk di setiap zaman. Dari generasi ke generasi, umat manusia senantiasa merasakan manfaat yang besar dan maslahat yang nyata dari puasa. Karena di dalamnya terdapat unsur penyucian jiwa dari segala hal yang mengotorinya, serta pembersihan diri dari akhlak yang buruk.
Kedua, ketika umat Islam mengetahui bahwa ibadah puasa ini juga diwajibkan atas umat terdahulu, tentu hal ini akan mendorongnya untuk berlomba-lomba dengan mereka, siapa yang lebih baik dalam menunaikan perintah Allah subhaanahu wa ta’ala tersebut. Sudah pasti ini merupakan sebuah perlombaan yang terpuji, yaitu berlomba-lomba dalam kebajikan sebagaimana yang Allah subhaanahu wa ta’ala perintahkan dalam ayat-Nya (artinya),
“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (Al-Maidah: 48)
Ketiga, ketika Allah subhaanahu wa ta’ala memberitakan bahwa puasa juga diwajibkan atas umat terdahulu, maka padanya terdapat tasliyah (hiburan) bagi umat ini. Amalan puasa -yang secara naluri manusiawi merupakan amalan yang berat- ini ternyata tidak hanya dibebankan atas umat ini. Kalau misalnya Anda diperintah untuk melakukan suatu pekerjaan yang berat, maka tentu pekerjaan itu serasa lebih mudah, ringan, dan Anda pun lebih terhibur jika pekerjaan itu juga dibebankan kepada orang lain.

Agar Menjadi Orang Bertakwa
Hanyalah orang-orang bertakwa yang akan mewarisi surga. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (Maryam: 63)
Masing-masing mukmin tentu mendambakan dirinya menjadi orang yang bertakwa, karena merekalah penghuni kekal negeri kenikmatan yang luasnya seluas langit dan bumi itu. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
Satu langkah untuk bisa meraih predikat takwa adalah dengan berpuasa. Inilah yang ditegaskan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala dalam ayat di atas ketika menyebutkan tujuan diwajibkannya puasa:
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Agar kalian bertakwa.”
Di antara hal yang mencerminkan perangai takwa dalam ibadah puasa adalah:
Pertama, seorang yang berpuasa meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala (pembatal puasa), yaitu makan, minum, dan yang lainnya, padahal jiwa ini cenderung senang kepada hal-hal yang membatalkan puasa tersebut. Seorang yang berpuasa meninggalkan itu semua semata-mata karena Allah subhaanahu wa ta’ala (lillahi ta’ala), ia berupaya mendekatkan diri kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, dan mengharap limpahan pahala dari-Nya. Ini adalah perangai takwa.
Kedua, seorang yang berpuasa berarti sedang melatih jiwanya untuk senantiasa muraqabatullah (sikap merasa diawasi oleh Allah subhaanahu wa ta’ala). Ia tinggalkan segala yang disenangi oleh hawa nafsunya padahal ia mampu untuk melakukannya. Ia tinggalkan itu semua karena keyakinan bahwa Allah mengawasinya. Siapa saja yang berpuasa, pasti ia meninggalkan makan, minum, dan pembatal puasa yang lain karena Allah mengetahui apa yang ia lakukan, walaupun orang lain tidak melihatnya.
Ketiga, puasa itu mempersempit jalan setan di tubuh manusia. Ketahuilah bahwa setan itu berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya syaithan berjalan di dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Puasa akan melemahkan pengaruh setan pada diri seseorang, sehingga perbuatan maksiat akan terminimalisir pada bulan puasa dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain.
Keempat, seringkali amal ketaatan seorang yang berpuasa itu bertambah. Dan ini banyak kita saksikan. Di mana-mana masjid diramaikan dengan shalat berjama’ah, qiyamullail (shalat tarawih), bacaan Al-Qur’an, ceramah-ceramah, dan kajian intensif keagamaan. Tanpa dilombakan, kaum muslimin dengan sukarela berlomba-lomba mengeluarkan infaq dan shadaqahnya. Tentu ini semua juga merupakan perangai takwa.
Kelima, ketika orang yang kaya berpuasa, ia akan merasakan beratnya rasa lapar. Ia merasakan penderitaan yang biasa dirasakan oleh fakir miskin. Sehingga keadaan seperti ini akan mendorongnya untuk membantu kalangan papa dan sengsara itu. Tidak diragukan lagi bahwa ini juga merupakan perangai takwa.
            Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullaahu ta’ala

Hadits-hadits Dha’if yang Banyak Tersebar di Bulan Ramadhan
Hadits pertama:
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا         
“Berpuasalah maka niscaya kalian akan sehat.” HR ath-Thabarani
Al-Hafizh al-Iraqi rahimahullaah berkata dalam Takhriju al-Ihya` (3/75), “(Hadits ini) diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath dan Abu Nu’aim dalam ath-Thibbu an-Nabawiy dari hadits Abu Hurairah z dengan sanad yang lemah.” (Lihat Silsilatu al-Ahadits adh-Dha’ifah no. 253)
Hadits kedua:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ فِيْ غَيِْر رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ لَهُ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلُّهُ وَإِنْ صَامَهُ
“Barang siapa berbuka (tidak berpuasa) sehari saja dari bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah baginya, maka ia tidak bisa menggantinya dengan puasa setahun penuh meskipun dia berpuasa selama setahun itu.” HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi.
Hadits ini lemah, dan al-Bukhari rahimahullaah sudah memberi isyarat dengan ucapan beliau “disebutkan dari Abu Hurairah.” Dilemahkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih beliau (3/238) dan dilemahkan juga oleh al-Mundziri, al-Baghawi, al-Qurthubi, adz-Dzahabi dan ad-Damiri sebagaimana dinukil oleh al-Munawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar dan beliau menyebutkan tiga ‘illah (penyebab lemahnya hadits tersebut) yaitu: al-idhthirab (kegoncangan), al-jahalah (tidak diketahuinya keadaan salah seorang perawi hadits ini), dan al-inqitha’ (terputus periwayatannya).” (Lihat Fathul Bari 4/161)
Awal Puasa 1 Ramadhan 1433H jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012

Pada akhirnya Pemerintah telah memutuskan dan menetapkan dalam sidang isbat tanggal 19 Juli 2012 yang berakhir pada jam 20:55 dengan hasil bahwa Awal Puasa 1 Ramadhan 1433H jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012, maka selayaknya kita mengikutinya dan insyaAllah bagian dari syariat Islam.

Beribadah Bersama Pemerintah.
Allah Ta’ala berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. An-Nisa:59

Termasuk bentuk ketaataan yang diperitahkan adalah menunaikan ibadah yang sifatnya jama’i bersama mereka seperti shalat, puasa, hari raya dan jihad, meskipun mereka adalah penguasa yang fasik.
Beribadah bersama penguasa meskipun mereka fasiq adalah salah satu pokok keyakinan ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana dinukilkan dalam kitab-kitab aqidah salaf.

Puasa dan Ied bersama Pemerintah
Diantara Ibadah yang dilakukan bersama pemerintah adalah Shoum (puasa) dan hari raya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الصوم يوم تصومون، و الفطر يوم تفطرون ، و الأضحى يوم تضحون” .
Hari berpuasa adalah hari dimana manusia berpuasa, hari berbuka adalah hari dimana manusia berbuka, hari menyembelih adalah hari dimana manusia menyembeliah. HR. At-Tirmidzi Dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah 1/389 no. 224.
 Berkata At-Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits:  “Sebagian ahul ilmi menafsirkan hadits ini: Makna hadits, bahwasannya puasa dan berbuka adalah bersama jamaah (muslimin) dan mayoritas manusia.”
Ash-Shan’ani berkata dalam kitabnya Subulus Salam (2/72): Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya yang dijadikan patokan penentuan ied adalah menyesuaikan dengan manusia (bersama penguasa), dan seorang yang bersendiri melihat hilal ied wajib atasnya tetap menyesuaikan manusia, dan harus baginya mengikuti keputusan masyarakat dalam shalat, berbuka dan menyembelih.”.
Berkata Abu Hasan As-Sindi dalam Hasyiah Sunan Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat At-Tirmidzy: “Yang tampak dari makna hadits, bahwasannya perkara-perkara ibadah ini (shoum, hari raya) bukanlah urusan individu umat, tidak boleh mereka bersendiri, namun urusannya dikembalikan kepada imam (penguasa) beserta jamaah kaum muslimin, oleh karena itu seandainya ada seorang (bersendiri) melihat hilal sementara imam menolak persaksiannya, perkara tersebut sudah seharusnya tidak tetap atas dirinya, dan wajib baginya mengikuti jamaah (kaum muslimin) dalam perkara itu,”
Berkata Syaikh Al-Albani: Makna inilahyang difahami dari hadits. Diperkuat bahwasannya Aisyah Ra berhujjah dengan makna ini kepada Masruq ketika suatu saat Masruq tidak melakukan puasa Arafah (yang ditentukan penguasa ketika itu) hanya karena kekhawatiran (jangan-jangan) hari itu adalah hari nahr (ied), maka Aisyah menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya (yakni Masruq) tidak dianggap (dalam masalah ini) bahkan wajib atasanya mengikuti jamaah (muslimin) lalu berkata:

النحر يوم ينحر الناس ، و الفطر يوم يفطر الناس
Hari nahr adalah hari dimana manusia menyembelih kurban-kurban meeka dan hari berbuka adalah hari dimana manusia berbuka. (Dan riwayat ini jayyid sanadnya dengan riwayat sebelumnya)

Berkata Al-Albani selanjutnya: Dan inilah makna yang sesuai dengan syareat yang penuh kebaikan dimana salahsatu tujuannya adalah memersatukan manusia dan merapatkan shaff-shaff mereka serta menjauhkan umat dari semua perkara yang memecah belah persatuan berupa pendapat-pendapat pribadi (golongan).
Syareat tidak menganggap pendapat pribadi dalam ibadah-ibadah jama’i -meskipun benar menurut pendapatnya- seperti Puasa, penetapan ied dan shalat jama’ah. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana para shahabat, mereka shalat dibelakang shahabat lainnya dalam keadaan ada diantara mereka yang memandang menyentuh wanita, dzakar dan keluarnya darah membatalkan wudhu sementara lainnya tidak menganggapnya membatalkan wudhu, diantara mereka ada yang menyempurnakan shalat dalam safar, diantara mereka ada yang mengqasharnya, sungguh perbedaan mereka ini tidak menghalangi mereka untuk bersatu di belakang satu imam dan menganggap sahnya shalat bersamanya (meskipun ada perbedaan-perbedaan tersebut), karena mereka mengetahui bahwasannya perpecahan dalam agama lebih jelek dari perbedaan dalam sebagian pendapat, bahkan sampai sebagian mereka benar-benar tidak mempedulikan pendapat pribadinya yang menyelisihi Al-Imam Al-a’dzam (amirul mukminin) dalam perkumpulan yang besar seperti (berkumpulnya seluruh kaum muslimin dalam ibadah haji) di Mina, mereka (shahabat) benar-benar meninggalkan pendapat pribadi di saat berkumpulnya manusia semua itu untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi dengan sebab mengamalkan pendapat pribadi.
Abu Dawud meriwayatkan (dalam Sunannya) (1/307) bahwasannya Utsman shalat di Mina empat rakaat, berkatalah Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan Utsman: “Aku shalat bersama Rasulullah saw (di Mina) dua rakaat (diqashar), bersama Abu Bakr juga dua rakaat, bersama Umar dua rakaat, bersama Utsman di awal pemerintahannya juga demikian, namun kemudia ia sempurnakan (empat rakaat), …” Namun demikian Ibnu Mas’ud (tetap) shalat empat rakaat (dibelakang Utsman), beliaupun ditanya: “Engkau salahkan Utsman tetapi engkau shalat dibelakangnya ?! Ibnu Mas’ud menjawab:

الخلاف شر
“Perselisihan itu kejelekan.”
Semisal dengan ini apa yang diriwayatkan Imam Ahmad (5/155) dari Abu Dzarr semoga Allah meridhai segenap shahabat.

Renungkanlah hadits ini dan atsar shahabat yang telah disebutkan wahai mereka yang terus-menerus bercerai berai dalam shalat-shalat mereka, dan tidak mau makmum dengan imam-imam masjid seperti shalat witir di bulan ramadhon dengan alasan imam-imam masjid beda madzhabnya dengan madzhab mereka !
Sebagian mereka, merasa bangga dengan ilmu falak, lalu berpuasa dan beridul fitri mendahului atau lebih akhir dari jamaah muslimin (bersama pemerintahnya), lebih menganggap pendapatnya dan amalannya tanpa mempedulikan penyelisihan mereka dari kaum muslimin dan pemerintahnya. Hendaknya mereka merenungkan apa yang aku sebutkan berupa ilmu, semoga mereka dapatkan obat dari apa yang bersarang dalam dada-da mereka berupa kejahilan dan ‘ujub, semoga mereka mau menjadi satu saff bersama saudara-saudaranya kaum muslimin, karena Tangan Allah bersama jama’ah,” (Diringkas dengan beberapa perubahan dari Silsilah Ash-Shahihah)

Wallahu a'lam
Baarakallahu Fiikum