JANGAN
MENGAMBIL ILMU AGAMA DARI AHLI BID’AH
Oleh: Ustadz Abu
Isma’il Muslim al Atsari
Sabtu, 19
Desember 2009 15:28:04 WIB
Orang yang
berniat mencari ilmu yang haq harus memperhatikan dari siapa dia mengambil
ilmu. Jangan sampai mengambil ilmu agama dari ahli bid’ah, karena mereka akan
menyesatkan, baik disadari atau tanpa disadari. Sehingga hal ini akan
mengantarkannya kepada jurang kehancuran.
Syaikh Muhammad
bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu ada
dua jalan.
Pertama : Ilmu
diambil dari kitab-kitab terpercaya, yang ditulis oleh para ulama yang telah
dikenal tingkat keilmuan mereka, amanah, dan aqidah mereka bersih dari berbagai
macam bid’ah dan khurafat (dongeng; kebodohan). Mengambil ilmu dari isi
kitab-kitab, pasti seseorang akan sampai kepada derajat tertentu, tetapi pada
jalan ini ada dua halangan. Halangan pertama, membutuhkan waktu yang lama dan
penderitaan yang berat. Halangan kedua, ilmunya lemah, karena tidak dibangun di
atas kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip.
Kedua : Ilmu
diambil dari seorang guru yang terpercaya di dalam ilmunya dan agamanya. Jalan
ini lebih cepat dan lebih kokoh untuk meraih ilmu.[1]
Akan tetapi
pantas disayangkan, pada zaman ini kita melihat fenomena pengambilan ilmu dari
para ahli bid’ah marak di mana-mana, padahal perbuatan tersebut sangat
ditentang oleh para ulama Salaf. Maka benarlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, yang telah memberitakan bahwa hal itu merupakan salah satu di antara
tanda-tanda dekatnya kiamat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِنْ
أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ
"Sesungguhnya
di antara tanda hari Kiamat adalah, ilmu diambil dari orang-orang kecil (yaitu
ahli bid’ah)" [2].
Imam Ibnul
Mubarak rahimahullah ditanya : “Siapakah orang-orang kecil itu?”
Beliau menjawab
: “Orang-orang yang berbicara dengan fikiran mereka. Adapun shaghir (anak
kecil) yang meriwayatkan dari kabir (orang tua, Ahlus Sunnah), maka dia bukan
shaghir (ahli bid’ah).[3]
Di dalam riwayat
lain, Imam Ibnul Mubarak juga mengatakan: “Orang-orang kecil dari kalangan ahli
bid’ah”. (Riwayat al Lalikai, 1/85).
Syaikh Bakar Abu
Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata :
“Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang
tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan
hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata
“akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada
dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka
juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar
kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa
nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash
shaghir (anak-anak kecil).[4]
Dan tanda hari
Kiamat, yaitu “mengambil ilmu dari orang-orang kecil (yaitu ahli bid’ah)” pada
zaman ini benar-benar sudah terjadi dan terus berjalan. Sungguh telah terbukti
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Bahkan sesuatu yang lebih
besar dari itu, yaitu mengambil ilmu agama Islam dari orang-orang kafir, yakni
para dosen yang mengajarkan pengetahuan tentang Islam di berbagai perguruan
tinggi di negara Barat.
Maka apakah
kira-kira komentar para ulama Salaf, jika mereka mengalami zaman kita ini?
Sedangkan mereka adalah orang-orang yang sangat tulus dalam memberikan nasihat,
dan tegas menghadapi berbagai penyimpangan?
Marilah kita
renungkan perkataan Imam adz Dzahabi rahimahullah tentang ahli bid’ah pada
zaman beliau.
Beliau
mengatakan: “Jika engkau melihat seorang mutakallim (seorang yang zhahirnya
muslim tetapi menggeluti ilmu kalam, mantiq, filsafat, Pen), ahli bid’ah,
berkata,’Tinggalkan kami dari al Kitab (al Qur`an) dan hadits-hadits, dan
datangkanlah akal,’ maka ketahuilah bahwa dia Abu Jahal. Dan jika engkau
melihat seorang salik tauhidi (seorang shufi, Pen) berkata,’Tinggalkan kami
dari naql (wahyu) dan akal, dan datangkanlah perasaan dan rasa,’ maka
ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang telah muncul dengan bentuk manusia, atau
iblis telah merasuk padanya. Jika kamu merasa takut padanya, maka larilah. Jika
tidak takut, maka bantinglah dia, dan tindihlah dadanya, dan bacakan ayat kursi
kepadanya, dan cekiklah dia”.[5]
PERINGATAN PARA ULAMA
Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menyebutkan sifat ulama yang akan selalu ada sepanjang
zaman, sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah, yaitu di dalam sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
يَحْمِلُ هَذَا
الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ
الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ
"Ilmu agama
ini akan dibawa oleh orang-orang yang lurus pada setiap generasi; mereka akan
menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas;
ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan
kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan" [6]
Hadits ini jelas
dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu ‘adalah (lurus,
istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena
itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam
mengambil ilmu. Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal
tersebut.
1). Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata :
اُنْظُرُوا
عَمَّنْ تَأْخُذُونَ هَذَا الْعِلْمَ فَإِنَّمَا هُوَ دِينٌ
"Perhatikanlah
dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama"
[7]
Perkataan ini
juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin,
adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).
2). Abdullah bin
Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata :
لاَ يَزَالُ
النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ مِنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ
مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ , وَ تَفَرَّقَتْ أَهْوَاءُهُمْ , هَلَكُوْا
"Manusia
akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para
sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu
datang dari arah orang-orang kecil (ahli bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka
bercerai-berai, mereka pasti binasa" [8].
Dalam riwayat
lain disebutkan :
لاَ يَزَالُ
النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا أَخَذُوْا الْعِلْمَ عَنْ أَكَابِرِهِمْ , فَإِذَا
أَخَذُوْهُ مِنْ أَصَاغِرِهِمْ وَ شِرَارِهِمْ هَلَكُوْا
"Manusia
selalu berada pada kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar
(tua) mereka. Jika mereka mengambil ilmu dari orang-orang kecil (ahli bid’ah)
dan orang-orang buruk (orang fasik) di antara mereka, maka mereka pasti
binasa" [9]
3). Imam Malik
rahimahullah berkata :
لاَ يُؤْخَذُ
الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى
يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ
وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,
وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ
"Ilmu tidak
boleh diambil dari empat orang : (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2)
Shahibu hawa` (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya,
(3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan
manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui
hadits yang dia sampaikan.[10]
4). Imam Nawawi
rahimahullah berkata menjelaskan ghibah yang dibolehkan :
“Di antaranya,
jika seseorang melihat pencari ilmu sering mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau
orang fasik, dan dia khawatir hal itu akan membahayakan pencari ilmu tersebut,
maka dia wajib menasihatinya, dengan menjelaskan keadaan (guru)nya, dengan
syarat dia berniat menasihati”. [Riyadhush Shalihin, al Adzkar, Syarah Muslim].
5). Disebutkan
di dalam kitab Fatawa Aimmatil Muslimin, hlm. 131, susunan Mahmud Muhammad
Khithab as Subki yang berisikan fatwa-fatwa sebagian ulama Mesir, Syam dan
Maghrib mutaqaddimin : “Seluruh imam mujtahidin telah sepakat, bahwa tidak
boleh mengambil ilmu dari ahli bid’ah”.
TUJUAN
PERINGATAN ULAMA
Syaikh Dr.
Ibrahim bin Amir Ruhaili –hafizhahullah- berkata,”Sesungguhnya para sahabat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para tabi’in sesudah mereka telah memberikan
bimbingan untuk mengambil ilmu dari orang yang ‘adil dan istiqamah. Mereka
telah melarang mengambil ilmu dari orang yang zhalim dan menyimpang. Dan di
antara orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah. Sesungguhnya mereka telah
menyimpang dan menyeleweng dari agama dengan sebab bid’ah-bid’ah itu, maka
tidah boleh mengambil ilmu dari mereka. Karena ilmu merupakan agama, dipelajari
untuk diamalkan. Maka jika ilmu diambil dari ahli bid’ah, sedangkan ahli bid’ah
tidak mendasarkan dan menetapkan masalah-masalah kecuali dengan bid’ah-bid’ah
yang dia jadikan agama, sehingga ahli bid’ah itu akan mempengaruhi
murid-muridnya secara ilmu dan amalan. Sehingga murid-murid itu akan tumbuh di
atas bid’ah dan susah meninggalkan kebid’ahan setelah itu. Apalagi jika belajar
dari ahli bid’ah itu pada masa kecil, maka pengaruhnya akan tetap dan tidak
akan hilang selama hidupnya.”[11]
Syaikh juga
menjelaskan, maksud peringatan para ulama ini ada dua. Pertama. Menjaga
orang-orang yang belajar dari kerusakan aqidah, karena terpengaruh oleh
perkataan dan perbuatan ahli bid’ah. Kedua. Memboikot (mengisolir) ahli bid’ah
yang menyerukan bid’ahnya, dengan niat mencegah dan menghentikan mereka dari
bid’ah.[12]
Larangan ini
berlaku saat situasi memungkinkan. Adapun dalam keadaan terpaksa, boleh belajar
kepada ahli bid’ah, dengan tetap waspada dari kesesatan mereka.[13]
Syaikh Bakar Abu
Zaid berkata,”Wahai, penuntut ilmu. Jika engkau berada dalam kelonggaran dan
memiliki pilihan, janganlah engkau mengambil (ilmu) dari ahli bid’ah, (yaitu) :
seorang Rafidhah (Syi’ah), seorang Khawarij, seorang Murji’ah, seorang qadari
(orang yang mengingkari takdir), seorang quburi (orang yang berlebihan
mengagungkan kuburan), dan seterusnya, karena engkau tidak akan mencapai
derajat orang yang benar aqidah agamanya, kokoh hubungannya dengan Allah, benar
pandangannya, mengikuti atsar (jejak Salaf), kecuali dengan meninggalkan ahli
bid’ah dan bid’ah mereka”.[14]
PERINGATAN
BELAJAR AGAMA KEPADA ORANG KAFIR!
Setelah kita
mengetahui keterangan di atas, maka selayaknya umat Islam agar senantiasa jeli
dan berhati-hati dalam mengambil ilmu. Sehingga pantas untuk diperingatkan,
yaitu adanya fenomena pada zaman ini dan sebelumnya, berupa pengambilan ilmu
dari orang-orang yang menyimpang, yaitu para ahli bid’ah, bahkan dari
orang-orang kafir! Tidakkah orang-orang yang mengambil ilmu dari orang-orang
kafir itu pernah membaca atau mendengar firman Allah k tentang usaha
orang-orang musyrik untuk memurtadkan umat Islam? Allah Azza wa Jalla berfirman
:
وَلاَ يَزَالُونَ
يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَن
يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرُُ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {217}
"Mereka
tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan
kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.
Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [al Baqarah :
217].
Tidakkah mereka
juga pernah mendengar firman Allah Azza wa Jalla tentang keinginan orang-orang
Ahli Kitab yang selalu berkeinginan memurtadkan umat Islam?
وَدَّكَثِيرُُ
مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا
حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ {109}
"Sebagian
besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran
setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri,
setelah nyata bagi mereka kebenaran" [al Baqarah : 109]
Apakah mereka
mengira, bahwa keinginan dan usaha orang-orang kafir untuk memurtadkan umat
Islam itu hanyalah pada zaman turunnya ayat-ayat al Qur`an itu?
Anggapan seperti
itu adalah perkiraan yang salah, karena ayat-ayat itu berasal dari Allah Yang
Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Seluruh berita dariNya adalah haq, baik saat
turunnya ayat maupun setelahnya. Maka, hendaklah mereka memperhatikan sejarah
umat Islam, memperhatikan kejadian-kejadian umat Islam, dahulu dan sekarang.
Dengan demikian, mereka akan mengetahui kebenaran firman Allah tersebut.
Inilah sedikit
keterangan seputar jalan mengambil ilmu. Semoga Allah selalu membimbing kita
kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa
dan Bijaksana. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun
X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1].
Diringkas dari Kitabul Ilmi,
karya Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah, hlm. 68-69.
[2].
Riwayat Ibnul Mubarak, al
Lalikai, dan al Khaththib al Baghdadi. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani di
dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 2203, dan Syaikh Salim al Hilali dalam
kitab Hilyatul ‘Alim, hlm. 81.
[3].
Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi, hlm.
246.
[4].
Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39,
karya Syaikh Bakar Abu Zaid.
[5].
Siyar A’lamin Nubala, 4/472,
dinukil dari Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39.
[6].
HR Ibnu ‘Adi di dalam al Kamil,
al Baihaqi di dalam Sunan Kubra, Ibnu ‘Asakir di dalam Tarikh Dimsyaq, Ibnu
Hibban di dalam ats Tsiqat, Abu Nu’aim di dalam Ma’rifatush Shahabat, Ibnu Abdil
Barr di dalam at Tamhid, al Khath-thib di dalam Syaraf Ash-habul Hadits, dan
lain-lain. Hadits ini diriwayatkan lebih dari 10 sanad, sehingga saling
menguatkan. Dishahihkan oleh Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali
di dalam Hilyatul ‘Alim al Mu’allim, hlm. 77, juga oleh Syaikh Ali bin Hasan di
dalam Tashfiyah wat Tarbiyyah.
[7].
Riwayat al Khaththib al
Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm. 121. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal
Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686, karya Dr. Ibrahim bin Amir
Ruhaili.
[8].
Riwayat Imam Ibnul Mubarak di
dalam az Zuhud, hlm. 281, hadits 815. Dinukil dari kitab Asy-rathus Sa’ah, hlm.
184, karya Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al Wabil.
[9].
Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 248.
Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm.
687.
[10]. Jami’ Bayanil ‘Ilmi, hlm. 348. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal
Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 688.
[11]. Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm. 686,
karya Syaikh Ibrahim ar Ruhaili.
[12]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm.
693.
[13]. Lihat Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida`, hlm.
685-695.
[14]. Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 40.