Link: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arafah-ikut-wukuf-di-arafah-atau-ikut-pemerintah.html
Date: 25 September 2014, 12:02
Puasa Arafah yang dilakukan tahun ini apakah ikut wukuf di Arafah ataukah ikut
ketetapan pemerintah? Karena kalau ikut ketetapan pemerintah, maka puasa Arafah
akan berbeda dengan waktu Jamaah haji wukuf di Arafah. Waktu wukuf di Arafah
pada hari Jumat, 3 Oktober 2014. Sedangkan untuk 9 Dzulhijjah di Indonesia jatuh pada 4 Oktober 2014.
Kalau Begitu Puasa Arafah Ikut Siapa?
Yang jelas kasus semacam ini sudah ada sejak
masa silam. Kita semestinya bersikap legowo dan lapang dada, menghargai
perbedaan yang terjadi.
Namun mengedepankan persatuan dalam masalah
ini, itu lebih baik. Landasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ
تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas
kalian berpuasa, hari raya Idul
Fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian berhari raya, dan Idul Adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul Adha.” (HR.
Tirmidzi no. 697. Hadits ini shahih kata
Syaikh Al Albani).
Imam Tirmidzi ketika menyebutkan hadits ini
berkata,
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا
الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ
الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“Para ulama menafsirkan bahwa hadits ini yang
dimaksud adalah berpuasa dan berhari raya bersama al jama’ah dan mayoritas
manusia”. Yang dimaksud Abu ‘Isa At Tirmidzi adalah berpuasa dengan pemerintah
(ulil amri), bukan dengan ormas atau golongan tertentu.
Hadits di atas menunjukkan bahwa berpuasalah
dan berhari rayalah bersama pemerintah. Kalau ketetapan pemerintah berbeda dengan
wukuf di Arafah, tetap ketetapan pemerintah yang diikuti.
Ikuti Hilal di Negeri Masing-Masing, Bukan Ikut Wukuf di Arafah
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا, وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا, فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah.
Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka
genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi
30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).
Hilal di negeri
masing-masinglah yang jadi patokan, itulah maksud perintah hadits. Yang
menguatkannya pula adalah riwayat dari Kuraib–, bahwa Ummu Fadhl bintu Al
Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka
menyelesaikan suatu urusan.
Kuraib melanjutkan kisahnya, setibanya di Syam,
saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat
hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di
akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, “Kapan kalian melihat hilal?” tanya
Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, “Kami melihatnya malam Jumat.” “Kamu melihatnya
sendiri?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di
negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa.” Jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan,
لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ
نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ
“Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus
berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal
Syawal.”
Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak
mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”
Jawab Ibnu Abbas,
لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم-
“Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR.
Muslim no. 1087).
Ini jadi dalil bahwa hilal di negeri kita tidak
mesti sama dengan hilal Kerajaan Saudi Arabia,
hilal lokal itulah yang berlaku. Kalau hilal negara lain terlalu dipaksakan
berlaku di negeri ini, coba bayangkan bagaimana hal ini diterapkan di masa
silam yang komunikasinya belum maju seperti saat ini.
Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib, “Setiap
negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal,
maka tidak berlaku untuk negeri lainnya.”
Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Hadits Kuraib dari Ibnu
‘Abbas jadi dalil untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di
kalangan Syafi’iyah, penglihatan rukyah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan
tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak
belum diqasharnya shalat.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama
Syafi’iyah menyatakan bahwa hilal internasionallah yang berlaku. Maksudnya,
penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya. (Lihat
Idem)
Tidak Masalah Jika Puasa Arafah Beda dengan Hari Wukuf di Arafah
Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat
perbedaan tentang penetapan hari Arafah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat
terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa
mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain
(dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Permasalahan ini
adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu
satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar,
hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Misalnya di Makkah
terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di
negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga
tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut.
Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini
karena hari ini adalah hari Idul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah
di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9
Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk
negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski
hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah
ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat
hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya
kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak
terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya
fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing,
demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu
mengikuti daerahnya masing-masing)”. (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad
bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir,
tahun 1413 H)
Kesimpulan dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, puasa
Arafah mengikuti penanggalan atau penglihatan di negeri masing-masing dan tidak
mesti mengikuti wukuf di Arafah.
Wallahu a’lam, wallahu waliyyut taufiq.
—
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id