16 November 2010

IKUT KETETAPAN SAUDI APA PEMERINTAH KITA TERKAIT IEDUL ADHA dan SHAUM ARAFAH?

Senin, 15 November 2010 02:08
Sumber artikel dari:
http://itishom.web.id



Pertanyaan :

Apabila penetapan 1 Dzulhijjah berbeda antara Saudi dengan di negara kita, manakah yang harus kita ikuti dalam penetapan puasa Arafah dan Iedul Adha, penetapan Saudi atau negara kita? Seperti yang terjadi pada tahun 1431 H ini.

Jawab :

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam, para Sahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikut Sunnah beliau dengan baik.

Sebelumnya, kita perlu memahami beberapa hal penting, yaitu:

Pertama, penetapan Iedul Adha terkait dengan melihat hilal tanggal 1 Dzulhijjah, bukan dengan hisab. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jika kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka tahanlah (jangan mengambil,pent) rambut dan kukunya (H.R Muslim)

Kedua, pelaksanaan ibadah kurban dan sholat Iedul Adha, sebagaimana Iedul Fitri dan puasa Ramadlan, sebenarnya bukanlah kewenangan masing-masing individu atau kelompok tertentu yang menetapkan, namun itu adalah kewenangan waliyyul amri (pemerintah muslim). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

Puasa (Ramadlan) adalah pada saat kalian sama-sama berpuasa, dan Iedul Fitri kalian adalah pada saat kalian Iedul Fitri, dan Iedul Adha kalian adalah pada saat kalian (bersama-sama) berkurban (H.R atTirmidzi)

Maksud ‘bersama-sama’ dalam hadits tersebut patokannya adalah Imam (pemimpin Muslim). Hal ini sebagaimana ditafsirkan dalam riwayat lain berupa atsar mauquf dari Aisyah –radliyallaahu ‘anha-:

عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ الإِمَامُ وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّى الإِمَامُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ الإِمَامُ

(Hari) Arafah adalah hari yang didefinisikan oleh Imam (pemimpin muslim), dan al-Adha adalah hari berkurbannya Imam dan (Iedul) Fitri adalah hari Imam melaksanakan Iedul Fitri (diriwayatkan oleh alBaihaqy, atThobarony, Abdurrozzaq, dan lain-lain. Atsar tersebut dishahihkan oleh Ibnu Rajab alHanbaly karena demikian banyaknya jalur-jalur periwayatan yang menguatkan di dalam kitab Ahkaamul Ikhtilaaf fi Ru’yati Hilaali Dzilhijjah. Ibnu Hajar al-Asqolaany juga menukil pendapat ad-Daruquthny bahwa hadits dengan lafadz tersebut yang benar mauquf sampai kepada Aisyah (at-Talkhishul Habiir (2/256)).

Ketiga, pada tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam berpuasa. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ

Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri-istri Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau berkata: adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sembilan hari (di awal) Dzulhijjah, dan pada hari Asyura’, tiga hari pada setiap bulan awal Senin dan Kamis (H.R Abu Dawud)

Keempat, pelaksanaan sholat Iedul Adha dan kurban tidak terkait langsung dengan pelaksanaan ibadah haji. Artinya, sebelum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan ibadah haji, sudah disyariatkan adanya Iedul Adha (sholat Ied dan berkurban).

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas beliau berkata: Rasulullah (baru) datang ke Madinah pada saat (kaum Anshar) memiliki 2 hari yang mereka bermain padanya, kemudian Rasul bertanya : apa 2 hari ini? Mereka menjawab: Kami bermain dalam 2 hari itu di masa Jahiliyyah. Maka Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari al-Adha dan hari al-Fitri (H.R Abu Dawud)

Dalam hadits tersebut nampak jelas bahwa disyariatkan Iedul Fitri dan Iedul Adha pada saat awal-awal kedatangan Nabi ke Madinah. Sebagian Ulama’ menyatakan disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah. Sedangkan pelaksanaan ibadah haji, sebagian ulama’ menyatakan disyariatkan pada tahun ke-6 Hijriah sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil pendapat jumhur, sedangkan Ibnul Qoyyim berpendapat pada tahun ke-9 atau ke-10 Hijriah. Telah jelas dimaklumi bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berhaji hanya sekali, yaitu pada haji wada’, yang merupakan haji pertama sekaligus perpisahan (terakhir) menjelang beliau wafat.

Kelima, penamaan ‘Arafah bukanlah karena adanya kegiatan wukuf di Arafah.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Athiyyah Salim ketika mensyarah Bulughul Maram:

يقول علماء اللغة: عرفة اسم للزمان ولليوم

Berkata Ahli Lughah (bahasa) : Arafah adalah nama waktu dan hari

beliau juga menyatakan:

وهكذا في عرفة لا علاقة للتسمية بعمل النسك

Demikianlah tentang Arafah, tidak ada hubungan penamaannya dengan kegiatan manasik (haji). (Syarh Bulughul Maram lisySyaikh Athiyyah Salim (153/3), Maktabah Syamilah)

Jika dikaji lebih jauh penamaan ‘Arafah’ sudah ada di masa Nabi Ibrahim, dan itu adalah sehari sebelum hari ‘penyembelihan’ anaknya.

وقال السدي: لما بشر إبراهيم بإسحاق قبل أن يولد له قال هو إذا لله ذبيح. فقيل له في منامه: قد نذرت فف بنذرك. ويقال: إن إبراهيم رأى في ليلة التروية كأن قائلا يقول: إن الله يأمرك بذبح ابنك؛ فلما أصبح روى في نفسه أي فكر أهذا الحلم من الله أم من الشيطان؟ فسمي يوم التروية. فلما كانت الليلة الثانية رأى ذلك أيضا وقيل له الوعد، فلما أصبح عرف أن ذلك من الله فسمي يوم عرفة. ثم رأى مثله في الليلة الثالثة فهم بنحره فسمي يوم النحر

As-Suddi berkata : Ketika Ibrahim diberi kabar gembira dengan Ishaq sebelum dilahirkan, ia berkata : Ia nanti akan disembelih untuk Allah. Dikatakan kepadanya dalam mimpinya: engkau telah bernadzar, maka penuhi nadzarmu. Dan dikatakan : sesungguhnya Ibrahim melihat (dalam mimpi) pada malam atTarwiyah, seakan-akan ada yang berkata:Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menyembelih anakmu. Ketika pagi hari ia berpikir: apakah mimpi ini dari Allah atau dari syaitan. Maka disebutlah hari itu sebagai atTarwiyah (berpikir). Malam ke-dua ia bermimpi lagi dan diingatkan kepadanya janji. Maka pada pagi harinya ia mengetahui (‘arafa) bahwa itu benar benar dari Allah sehingga disebutlah hari itu sebagai hari ‘Arafah (saat mengetahui). Kemudian ia melihat (mimpi) seperti itu pada malam ke-3, sehingga dia bertekad untuk menyembelihnya, maka disebutlah sebagai yaumun nahr (hari penyembelihan) (Lihat Tafsir alQurthuby (15/102))

وروي عن أبي صالح عن ابن عباس رضي الله عنه أن إبراهيم عليه السلام رأى ليلة التروية في منامه أنه يؤمر بذبح ابنه فلما أصبح روى يومه أجمع أي فكر، أمن الله تعالى هذه الرؤيا أم من الشيطان؟ فسمي اليوم يوم التروية، ثم رأى ذلك ليلة عرفة ثانيا فلما أصبح عرف أن ذلك من الله تعالى فسمي اليوم يوم عرفة

Dan diriwayatkan dari Abu Sholih dari Ibnu Abbas –radliyallaahu ‘anhu- bahwa Ibrahim alaihissalam melihat pada malam tarwiyyah dalam mimpinya bahwa beliau diperintah untuk menyembelih anaknya, maka pada pagi harinya ia berpikir: apakah ini dari Allah atau dari syaitan? Maka dinamakanlah hari itu sebagai hari tarwiyah (berpikir). Kemudian ia melihat pada malam Arafah yang kedua kali, maka ketika pada pagi harinya Ibrahim mengetahui (‘arafa) bahwa hal itu benar dari Allah. Maka disebutlah hari itu sebagai hari ‘Arafah (Lihat Tafsir al-Baghowy juz 1 halaman 229)

Sehingga, hari ‘Arafah adalah sebutan untuk suatu hari yang berada pada waktu sehari sebelum hari berkurban (penyembelihan) dan sehari setelah tarwiyah, tidak terkait dengan pelaksanaan ibadah haji secara langsung.

Kesimpulan

Atas dasar kelima hal di atas, maka semestinya pelaksanaan ibadah shoum Arafah maupun Iedul Adha di negara kita ketentuannya berdasarkan ketetapan pemerintah muslim negara kita, yang Alhamdulillah mendasarkan ketetapannya berdasarkan rukyatul hilal pada sidang itsbat tanggal 8 November 2010, namun karena tidak ada yang melihat hilal di Indonesia, sehingga ditetapkan menyempurnakan bilangan hari bulan DzulQo’dah menjadi 30 hari.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin (walaupun beliau adalah Ulama’ Saudi) juga menasehatkan bagi muslim Saudi yang bekerja di negara lain, dan bertepatan peristiwanya saat mereka masih berada di negara itu, untuk mengikuti ketetapan pemerintah muslim di negara tersebut, tidak hanya dalam shoum Ramadlan dan Iedul Fitri saja namun juga berkenaan dengan patokan hari pelaksanaan shoum Arafah dan Iedul Adha. Beliau menyatakan:

ولكن إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف .

وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه (كتب ورسائل للعثيمين 232 – 25)

“Akan tetapi jika suatu negara berada di bawah hukum yang satu dan pemimpin (hakim) negeri memerintahkan berpuasa, atau berbuka, wajib menjalankan perintahnya, karena permasalahan (ini) adalah khilafiyah, sedangkan hukum (yang diputuskan) hakim mengangkat perselisihan. Berdasarkan ini, berpuasalah dan berbukalah sebagaimana penduduk negeri anda, baik sesuai negeri anda yang asli (beliau menyatakan ini kepada pekerja Saudi yang bekerja di negeri lain,pent) atau menyelisihnya. Demikian juga hari Arafah, ikutilah negeri yang anda berada di dalamnya (Kutub wa Rosaail lil Utsaimin 232/25, Maktabah Syamilah)

Satu faidah penting yang bisa diambil dari fatwa Syaikh al-Utsaimin di atas adalah, suatu kaidah fiqh yang diterapkan dalam penetapan masuknya Iedul Adha dan shaum Arafah:

حُكْمُ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ

Keputusan dari hakim mengangkat (menghilangkan) perbedaan pendapat (khilafiyah)

Hal ini menunjukkan, bahwa jika di suatu negara telah terdapat hakim (di Indonesia Kementrian Agama pada sidang itsbat) maka mestinya hilanglah perbedaan - perbedaan pendapat tersebut. Seperti telah diketahui bahwa dalam penetepaan Ied terdapat perbedaan (khilafiyah) cara pandang masing-masing ulama' seperti: apakah terlihatnya hilal di suatu negeri berlaku pula untuk negeri lain, dsb. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut jika telah diangkat dan diputuskan oleh hakim, maka seharusnya hilanglah perbedaan -perbedaan tersebut.

Wallaahu Ta’ala A’lam bisshowaab

Catatan tambahan : puasa hari Arafah memiliki keutamaan menghapus dosa di 2 tahun, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih

(Abu Utsman Kharisman)

0 komentar: