20 Juli 2012

Awal Puasa 1 Ramadhan 1433H jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012

Pada akhirnya Pemerintah telah memutuskan dan menetapkan dalam sidang isbat tanggal 19 Juli 2012 yang berakhir pada jam 20:55 dengan hasil bahwa Awal Puasa 1 Ramadhan 1433H jatuh pada hari Sabtu 21 Juli 2012, maka selayaknya kita mengikutinya dan insyaAllah bagian dari syariat Islam.

Beribadah Bersama Pemerintah.
Allah Ta’ala berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. An-Nisa:59

Termasuk bentuk ketaataan yang diperitahkan adalah menunaikan ibadah yang sifatnya jama’i bersama mereka seperti shalat, puasa, hari raya dan jihad, meskipun mereka adalah penguasa yang fasik.
Beribadah bersama penguasa meskipun mereka fasiq adalah salah satu pokok keyakinan ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana dinukilkan dalam kitab-kitab aqidah salaf.

Puasa dan Ied bersama Pemerintah
Diantara Ibadah yang dilakukan bersama pemerintah adalah Shoum (puasa) dan hari raya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
الصوم يوم تصومون، و الفطر يوم تفطرون ، و الأضحى يوم تضحون” .
Hari berpuasa adalah hari dimana manusia berpuasa, hari berbuka adalah hari dimana manusia berbuka, hari menyembelih adalah hari dimana manusia menyembeliah. HR. At-Tirmidzi Dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah 1/389 no. 224.
 Berkata At-Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits:  “Sebagian ahul ilmi menafsirkan hadits ini: Makna hadits, bahwasannya puasa dan berbuka adalah bersama jamaah (muslimin) dan mayoritas manusia.”
Ash-Shan’ani berkata dalam kitabnya Subulus Salam (2/72): Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya yang dijadikan patokan penentuan ied adalah menyesuaikan dengan manusia (bersama penguasa), dan seorang yang bersendiri melihat hilal ied wajib atasnya tetap menyesuaikan manusia, dan harus baginya mengikuti keputusan masyarakat dalam shalat, berbuka dan menyembelih.”.
Berkata Abu Hasan As-Sindi dalam Hasyiah Sunan Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat At-Tirmidzy: “Yang tampak dari makna hadits, bahwasannya perkara-perkara ibadah ini (shoum, hari raya) bukanlah urusan individu umat, tidak boleh mereka bersendiri, namun urusannya dikembalikan kepada imam (penguasa) beserta jamaah kaum muslimin, oleh karena itu seandainya ada seorang (bersendiri) melihat hilal sementara imam menolak persaksiannya, perkara tersebut sudah seharusnya tidak tetap atas dirinya, dan wajib baginya mengikuti jamaah (kaum muslimin) dalam perkara itu,”
Berkata Syaikh Al-Albani: Makna inilahyang difahami dari hadits. Diperkuat bahwasannya Aisyah Ra berhujjah dengan makna ini kepada Masruq ketika suatu saat Masruq tidak melakukan puasa Arafah (yang ditentukan penguasa ketika itu) hanya karena kekhawatiran (jangan-jangan) hari itu adalah hari nahr (ied), maka Aisyah menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya (yakni Masruq) tidak dianggap (dalam masalah ini) bahkan wajib atasanya mengikuti jamaah (muslimin) lalu berkata:

النحر يوم ينحر الناس ، و الفطر يوم يفطر الناس
Hari nahr adalah hari dimana manusia menyembelih kurban-kurban meeka dan hari berbuka adalah hari dimana manusia berbuka. (Dan riwayat ini jayyid sanadnya dengan riwayat sebelumnya)

Berkata Al-Albani selanjutnya: Dan inilah makna yang sesuai dengan syareat yang penuh kebaikan dimana salahsatu tujuannya adalah memersatukan manusia dan merapatkan shaff-shaff mereka serta menjauhkan umat dari semua perkara yang memecah belah persatuan berupa pendapat-pendapat pribadi (golongan).
Syareat tidak menganggap pendapat pribadi dalam ibadah-ibadah jama’i -meskipun benar menurut pendapatnya- seperti Puasa, penetapan ied dan shalat jama’ah. Tidakkah engkau perhatikan bagaimana para shahabat, mereka shalat dibelakang shahabat lainnya dalam keadaan ada diantara mereka yang memandang menyentuh wanita, dzakar dan keluarnya darah membatalkan wudhu sementara lainnya tidak menganggapnya membatalkan wudhu, diantara mereka ada yang menyempurnakan shalat dalam safar, diantara mereka ada yang mengqasharnya, sungguh perbedaan mereka ini tidak menghalangi mereka untuk bersatu di belakang satu imam dan menganggap sahnya shalat bersamanya (meskipun ada perbedaan-perbedaan tersebut), karena mereka mengetahui bahwasannya perpecahan dalam agama lebih jelek dari perbedaan dalam sebagian pendapat, bahkan sampai sebagian mereka benar-benar tidak mempedulikan pendapat pribadinya yang menyelisihi Al-Imam Al-a’dzam (amirul mukminin) dalam perkumpulan yang besar seperti (berkumpulnya seluruh kaum muslimin dalam ibadah haji) di Mina, mereka (shahabat) benar-benar meninggalkan pendapat pribadi di saat berkumpulnya manusia semua itu untuk menghindari akibat buruk yang mungkin terjadi dengan sebab mengamalkan pendapat pribadi.
Abu Dawud meriwayatkan (dalam Sunannya) (1/307) bahwasannya Utsman shalat di Mina empat rakaat, berkatalah Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan Utsman: “Aku shalat bersama Rasulullah saw (di Mina) dua rakaat (diqashar), bersama Abu Bakr juga dua rakaat, bersama Umar dua rakaat, bersama Utsman di awal pemerintahannya juga demikian, namun kemudia ia sempurnakan (empat rakaat), …” Namun demikian Ibnu Mas’ud (tetap) shalat empat rakaat (dibelakang Utsman), beliaupun ditanya: “Engkau salahkan Utsman tetapi engkau shalat dibelakangnya ?! Ibnu Mas’ud menjawab:

الخلاف شر
“Perselisihan itu kejelekan.”
Semisal dengan ini apa yang diriwayatkan Imam Ahmad (5/155) dari Abu Dzarr semoga Allah meridhai segenap shahabat.

Renungkanlah hadits ini dan atsar shahabat yang telah disebutkan wahai mereka yang terus-menerus bercerai berai dalam shalat-shalat mereka, dan tidak mau makmum dengan imam-imam masjid seperti shalat witir di bulan ramadhon dengan alasan imam-imam masjid beda madzhabnya dengan madzhab mereka !
Sebagian mereka, merasa bangga dengan ilmu falak, lalu berpuasa dan beridul fitri mendahului atau lebih akhir dari jamaah muslimin (bersama pemerintahnya), lebih menganggap pendapatnya dan amalannya tanpa mempedulikan penyelisihan mereka dari kaum muslimin dan pemerintahnya. Hendaknya mereka merenungkan apa yang aku sebutkan berupa ilmu, semoga mereka dapatkan obat dari apa yang bersarang dalam dada-da mereka berupa kejahilan dan ‘ujub, semoga mereka mau menjadi satu saff bersama saudara-saudaranya kaum muslimin, karena Tangan Allah bersama jama’ah,” (Diringkas dengan beberapa perubahan dari Silsilah Ash-Shahihah)

Wallahu a'lam
Baarakallahu Fiikum

0 komentar: