Meraih Keutamaan Berpuasa
Buletin Islam Al Ilmu edisi no: 35/IX/IX/1432
Para pembaca rahimakumullah, alhamdulillah, wajib bagi kita
untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang masih memberi kita
kesempatan untuk bisa menjalankan puasa Ramadhan tahun ini. Semoga
amalan ibadah kita baik puasa maupun yang lainnya diterima di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Amin.
Para pembaca rahimakumullah, pada edisi kali ini akan kami sajikan
beberapa fatwa para ulama tentang beberapa hal yang berkaitan dengan
puasa Ramadhan. Dengan harapan agar kita bisa beramal dengan ilmu dan
bimbingan para ulama serta terjauhkan dari was-was (keraguan) dari
syaithan.
[] Tanya: Apakah seorang yang akan menunaikan puasa Ramadhan wajib
berniat setiap malam atau cukup berniat satu kali di awal bulan?
Jawab: Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya setiap
ibadah termasuk ibadah puasa, akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah
seorang yang akan menunaikan puasa Ramadhan wajib berniat setiap malam
atau cukup berniat satu kali di awal bulan.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajibnya niat puasa Ramadhan
setiap malam dan sudah termasuk niat bangunnya seseorang untuk makan
sahur. Apabila dia tidak bangun kecuali setelah terbitnya fajar akan
tetapi dia telah berniat puasa sebelum tidur maka tetap berpuasa dan
puasanya sah. Ini adalah merupakan pendapat Al Imam Asy Syafi’i dan Al
Imam Ahmad. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Asy Syaikh bin Baz dan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan cukup
satu kali di awal bulan. Ini adalah merupakan pendapat Al Imam Malik, Al
Laits dan Ash Shan’ani. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy Syaikh Al
‘Utsaimin. Beliau menambahkan, ”…kecuali jika puasanya terputus di
pertengahan bulan dikarenakan udzur yang syar’i seperti safar
(bepergian) atau sakit atau yang lainnya maka wajib baginya untuk
memperbarui niatnya.”
Adapun niat adalah merupakan amalan hati tidak perlu untuk diucapkan,
dan tidak pernah ada contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam bahwa beliau mengucapkan niat.
[] Tanya: Apakah mimisan atau gusi berdarah membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Darah
yang keluar dari gigi tidaklah mempengaruhi puasa, tetapi hendaknya
seseorang menjaga semaksimal mungkin agar darah tersebut tidak tertelan.
Demikian pula ketika mimisan, hendaknya dijaga agar tidak tertelan.
Sesungguhnya keadaan yang seperti ini tidak mewajibkannya untuk berbuat
apapun, tidak pula mengganti puasanya.”
“Mimisan tidaklah membatalkan puasa walaupun darah yang keluar banyak
jumlahnya, karena hal itu terjadi di luar kesengajaan.” Fatawa Arkanul
Islam no. 416 dan 428.
[] Tanya: Apakah muntah membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Apabila
seseorang muntah dengan sengaja maka batal puasanya. Namun jika tidak
sengaja maka puasanya tidak batal. Dalil yang menerangkan tentang hal
ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak kuasa menahan muntah (tidak sengaja) maka
tidak ada kewajiban untuk mengganti puasa, sedangkan yang muntah dengan
sengaja maka wajib mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Jika engkau tidak kuasa menahan muntah maka puasamu tidak batal. Jika
seseorang merasakan mual pada perutnya dan merasa hendak muntah, maka
aku nasehatkan agar tidak menahannya dan tidak pula memaksanya keluar.
Bersikaplah secara wajar, jangan dipaksakan muntah dan jangan pula
ditahan. Karena jika engkau paksakan muntah maka puasamu batal, dan jika
engkau menahannya maka akan membahayakan dirimu. Jadi biarkan saja,
jika memang keluar dengan sendirinya maka yang demikian itu tidaklah
membahayakanmu dan tidak membatalkan puasamu.” Fatawa Arkanil Islam no.
415.
[] Tanya: Apakah pemakaian infus membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Sesuatu
yang tidak tergolong jenis makanan dan minuman akan tetapi berfungsi
sebagaimana fungsi makanan dan minuman, semisal infus yang berfungsi
pengganti makanan untuk menyuplai kebutuhan makanan bagi tubuh sehingga
dengan itu seseorang tidak perlu makan dan minum. Demikian pula infus
tambah darah bagi seseorang yang sakit, karena mengingat tujuan dari
makan dan minum adalah membentuk sel-sel darah sehingga jika seseorang
disuntikkan darah sebagai tambahan, berarti telah dihasilkan tujuan
makan dan minumnya. Maka perkara yang demikian ini membatalkan puasa.”
Beliau berkata, “Adapun suntikan yang tidak berfungsi sebagai
pengganti makanan dan minuman, maka secara mutlak tidaklah membatalkan
puasa, baik disuntikkan lewat urat ataupun lewat pembuluh darah.”
Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ hal. 352.
[] Tanya: Apakah mencicipi masakan membatalkan puasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Mencicipi
masakan tidaklah membatalkan puasa jika tidak sampai menelannya. Walau
demikian, mencicipi masakan itu jangan dilakukan kecuali jika
dibutuhkan. Apabila ketika mencicipi tersebut ada sesuatu yang masuk
kelambungnya tanpa disengaja maka puasanya tidak batal.” Fatawa Fi
Ahkamis Shiyam no. 329.
Dalam kitab Asy Syarhul Mumti’ beliau berkata, “Makruh hukumnya
mencicipi makanan kecuali jika memang dibutuhkan maka tidak mengapa,
seperti tukang masak yang ingin mengecek asin atau manisnya makanan.”
[] Tanya: Apakah menelan ludah membatalkan puasa?
Jawab: “Seorang yang menelan ludahnya tidaklah merusak puasanya
walaupun banyak, baik ketika di masjid atau yang lainnya. Adapun dahak
atau riak maka janganlah ditelan, akan tetapi ludahkanlah ke sapu tangan
atau yang semisalnya jika engkau berada di masjid.” (Fatwa al-Lajnah
ad-Da`imah no. 9584)
[] Tanya: Apa hukum memakai pasta gigi ketika sedang berpuasa?
Jawab: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata,
“Penggunaan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa jika tidak ditelan.
Akan tetapi aku berpandangan bahwa bagi orang yang berpuasa untuk tidak
menggunakannya di siang hari, namun gunakanlah di malam hari. Karena
pasta gigi itu memiliki aroma/rasa yang sangat kuat yang kemungkinan
bisa masuk kedalam perut dalam keadaan dia tidak menyadarinya.” Fatawa
fi Ahkamish Shiyam no. 325.
[] Tanya: Apa hukum seseorang yang berbuka (membatalkan puasa) karena
suatu udzur syar’i, kemudian di pertengahan hari udzur itu hilang
darinya, apakah wajib untuk berpuasa di sisa harinya itu?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Tidak
wajib baginya untuk menahan diri (dari makan dan minum), karena orang
tersebut telah dibolehkan berbuka berdasarkan udzur syar’i. Syariat
membolehkan berbuka bagi orang yang terpaksa untuk berbuka, misalkan
bagi seseorang yang hendak minum obat yang jika dia meminumnya maka dia
berbuka. Jika demikian maka keharaman hari itu tidak ada lagi karena dia
telah diperbolehkan untuk berbuka, akan tetapi wajib baginya untuk
mengganti (qadha’). Perintah kita kepada dirinya untuk menahan diri
tanpa ada manfaat secara syar’i adalah tidak benar. Selama dia tidak
mendapatkan manfaat dengan menahan diri tersebut maka kita tidak boleh
menyuruhnya berbuat demikian.” Fatawa Arkanil Islam no. 400.
Sampai pada ucapan beliau, “Semua orang yang tidak berpuasa di bulan
ramadhan dengan adanya udzur syar’i maka tidak wajib baginya untuk
menahan diri (dari makan dan minum di sisa harinya itu). Sebaliknya,
bagi orang yang tidak berpuasa tanpa udzur maka wajib baginya untuk
menahan diri, karena tidak halal baginya untuk berbuka. Dia sudah
merusak keharaman hari itu tanpa adanya izin syar’i. kita harus
memerintahkannya untuk tetap menahan diri dan mengganti puasanya
(qadha’), Allahu a’lam.”
[] Tanya: Apa hukum puasa seseorang yang tidur sehari penuh ketika berpuasa?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “ Puasamu
hari itu tetap sah, namun engkau meninggalkan shalat dengan sebab
tidurnya adalah perbuatan yang haram, karena tidak boleh bagi seseorang
bermudah-mudahan dalam perkara shalat sampai pada batas tidur yang dapat
melalaikan dari shalat dan tidak punya perhatian terhadap shalatnya.
Maka wajib bagi seseorang apabila dia tidur dan tidak ada seseorang yang
membangunkannya untuk shalat, hendaknya dia membuat alat pengingat
seperti alarm dan semisalnya agar dia bisa bangun kemudian shalat dan
tidur kembali jika dia menginginkannya. Terkait masalah ini, maka
sungguh saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum muslimin dari
hal-hal yang sebagian muslimin mengerjakannya, seperti begadang
semalaman tanpa ada manfaat dan tidur sepanjang hari. Ini bukan termasuk
kebiasaan para salaf di bulan Ramadhan. Bahkan mereka bersemangat
menyibukkan diri pada waktu yang berharga ini dengan mendekatkan diri
kepada Allah dengan berbagai macam ketaatan seperti shalat, dzikir,
shadaqah dan berbuat baik kepada Penciptanya. Adapun orang yang tidak
menggunakan waktunya dengan baik pada siang hari di bulan Ramadhan,
kecuali menghabiskannya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat, maka
sesungguhnya ini bukan termasuk kebiasaan para Salafush Shalih.” Fatawa
fi Ahkamish Shiyam no. 125. Hal serupa juga disampaikan oleh al-Lajnah
ad-Da`imah dalam fatwa no. 12542.
[] Tanya: Apakah boleh bagi seseorang yang memilki pekerjaan yang berat untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan?
Jawab: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Pendapat
saya dalam permasalahan ini bahwa berbukanya dia disebabkan pekerjaannya
adalah haram, tidak boleh dilakukan. Apabila tidak mungkin untuk
dijamak antara bekerja dan berpuasa maka hendaknya dia meminta izin
untuk tidak bekerja di bulan Ramadhan, sehingga memudahkan baginya untuk
berpuasa di bulan tersebut. Yang demikian ini dikarenakan puasa
Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang tidak boleh
ditinggalkan.” Majmu’ Fatawa wa Rasa`il ibni ‘Utsaimin no. 94.
[] Tanya: Apa hukum seseorang yang sengaja mengeluarkan spermanya ketika sedang berpuasa?
Jawab: Al-Lajnah ad-Da`imah dalam fatwa no. 2192 menjelaskan, “Onani
(mengeluarkan sperma dengan sengaja) hukumnya haram baik di bulan
Ramadhan atau yang lainnya dan tidak boleh dikerjakan karena firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al Mu’minun ayat: 5-7).
Bagi orang yang mengerjakannya di siang hari bulan Ramadhan dalam
keadaan berpuasa, maka wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan
mengganti (qadha’) puasa tersebut. Dia tidak perlu membayar kafarat
karena kafarat hanya dibebankan dalam permasalahan jimak saja.”
Wallahu a’lamu bish shawab.
0 komentar:
Posting Komentar